Hidayah Hanyalah Milik Allah
Ada satu doa yang paling sering Rasul baca selama masa hidup beliau. Ibnu Abu Hatim mengatakan dari Ummu Salamah, bahwa Nabi SAW mengucapkan doa berikut:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Ya Tuhan Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu”.
Rasulullah mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa meminta diberikan hidayah oleh Allah Ta’ala walaupun sudah dalam kondisi muslim. Mengapa demikian? Bentuk hidayah yang Allah berikan tidak selalu pindahnya orang kafir untuk memeluk Islam. Sampai saat ini kita masih beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan Rasul adalah salah satu dari bentuk kita masih diberikan hidayah oleh Allah Ta’ala.
Boleh jadi seseorang yang biasanya melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Tiba-tiba menjadi malas untuk shalat berjamaah di masjid adalah salah satu bentuk bahwa Allah mencabut hidayah dari dalam diri seseorang. Atau orang yang biasanya berpuasa di bulan Ramadhan tidak pernah batal di siang hari jika tidak ada halangan, tetapi karena Allah telah mengambil hidayah akhirnya menjadi malas untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Jadi sebetulnya hidup kita ini adalah selalu dalam kondisi tidak aman. Karena bisa jadi kapan pun Allah mau untuk membalikkan hati kita yang awalnya taat kemudian menjadi lalai, na’udzubillahi min dzalik.
Dalam menilai orang lain pun kita tidak boleh sembarangan. Menganggap orang lain lalai kepada Allah dan menganggapnya tidak baik dalam beribadah. Boleh jadi tidak lama Allah akan membalikkan hati orang tersebut yang tadinya lalai, menjadi ahli ibadah bahkan melampaui ibadah yang kita lakukan. Itulah mengapa bahwa hidayah adalah kehendak Allah. Sekeras apapun kita mengajak orang lain untuk taat kepada Allah, tapi jika Allah belum berkenan dengan usaha kita maka orang lain tidak akan menjadi taat kepada Allah.
Tetapi walaupun dengan cara yang mudah, jika Allah memang sudah menghendaki seseorang untuk mendapat hidayah maka siapa pun dan dengan cara apapun seseorang akan sangat taat kepada Allah Ta’ala. Dalam hal ini bukan berarti menjadikan kita untuk enggan berdakwah. Jadikan dakwah adalah sarana untuk kita memperbaiki diri dan menetapkan hidayah dari Allah terhadap diri kita. Perkara orang lain yang kita ajak, apakah dia akan menjadi taat kepada Allah atah tidak itu bukan menjadi prioritas kita dalam berdakwah. Biarlah Allah yang menilai kapan seseorang bisa tepat dalam mendapatkan hidayah.
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ ۚ
وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Al Baqarah: 272).
Itulah mengapa walaupun kita sudah beriman kepada Allah, harus tetap senantiasa meminta hidayah kepada Allah Ta’ala. Karena tidak ada yang bisa menjamin hidayah akan tetap ada di dalam diri kita kecuali Allah Ta’ala. Begitu pun sebaliknya tidak ada yang bisa menjamin orang yang kita anggap ingkar kepada Allah suatu saat akan menjadi hamba yang sangat berimah kepada Allah Ta’ala. (Wahid)