Agar Bekerja Jadi Ibadah
Saudaraku, Islam adalah agama sempurna. Petunjuk yang mengarahkan pada keselamatan sejati bagi siapa saja yang menggenggamnya sekuat tenaga. Petunjuk menuju kebahagiaan hakiki bagi siapa pun yang menjalankannya secara istiqamah.
Ibadah dalam Islam tidak hanya terbatas pada salat, zakat, saum dan haji semata, melainkan setiap aspek hidup bisa menjadi ibadah. Dengan catatan, dilaksanakan secara ikhlas hanya mengharap rida Allah Ta’ala, dan berada dalam koridor sunnah Rasulullah saw.
Allah SWT berfirman, “Dan, katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.’” (QS. at-Taubah [9]: 105).
Dalam ayat-Nya yang lain, Allah berfirman, “Apabila telah ditunaikan salat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumuah [62]: 10).
Nabi Muhammad adalah manusia paling mulia, suri teladan bagi kita semua. Namun, meski beliau memiliki kedudukan sedemikian mulia di tengah manusia dan di hadapan Allah, namun Nabi tetap bekerja. Bahkan kita bisa membaca dari lembar demi lembar sejarah, beliau adalah sosok mandiri sedari belia. Nabi pernah bekerja sebagai penggembala yang menggembalakan ternak milik orang lain. Beliau juga pernah bekerja sebagai pedagang yang mendagangkan barang-barang milik orang lain. Gelar “al-Amiin”, “orang yang tepercaya” pun beliau diberikan masyarakat di Kota Mekah, salah satunya adalah karena interaksi dalam urusan perniagaan.
Rasulullah saw berfirman, “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia mengembalakan kambing.” Para sahabat bertanya: “Termasuk engkau juga?” Maka Beliau menjawab: “Ya, aku pun mengembalakannya dengan upah beberapa Qirath untuk penduduk Mekah.” (HR. Bukhari).
Demikian pula dengan para nabi dan rasul terdahulu sebelum Nabi Muhammad, mereka adalah orang-orang mulia yang tidak berpangku tangan dalam menjemput rezeki Allah SWT. Para nabi dan rasul pun memiliki pekerjaannya masing-masing sebagai lahan ibadah mereka kepada Allah.
Nabi Adam misalnya, beliau adalah seorang petani. Nabi Nuh sebagai tukang kayu. Nabi Ibrahim berkebun. Nabi Yusuf merupakan pegawai negara. Nabi Daud sebagai pandai besi. Masya Allah, para nabi nan mulia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Lantas pekerjaan apa yang paling utama? Apakah yang paling besar pendapatannya, yang paling besar omzetnya, yang paling rapi penampilannya? Saat ini tidak sedikit manusia yang keliru memahami pekerjaan yang paling baik. Biasanya materi, uang menjadi patokannya. Semakin besar uang yang didapat dari suatu pekerjaan, maka pekerjaan tersebutlah yang paling baik. Padahal tidak demikian.
Rasulullah pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad).
Dalam hadis ini sangat terang bahwa suatu pekerjaan yang utama hendaknya tidak diukur dengan besar-kecilnya materi yang didapat. Karena dalam hadis ini pertanyaannya menggunakan kata “thayyib” atau baik, berkah. Semakin berkah suatu pekerjaan, maka semakin utama pekerjaan tersebut. Maka, kita pun bisa memahami bahwa dalam bekerja itu yang kita kejar adalah berkahnya, bukan sedikit atau banyaknya.
Rasulullah juga bersabda, “Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan yang ia makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Karena Nabi Daud ‘alaihis salam dahulu bekerja pula dengan hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari).
Berbahagialah bagi siapa pun yang diberi kesempatan untuk bekerja. Kesempatan dalam arti potensi yang dimiliki oleh diri kita, sehingga kita bisa mengerjakan sesuatu sebagai ikhtiar menjemput rezeki Allah. Dan, bekerja yang bisa bernilai ibadah adalah dambaan kita semua agar tidak hanya kebutuhan duniawi yang bisa kita raih, melainkan juga kebahagiaan di akhirat pun diraih. Insya Allah! (KH. Abdullah Gymnastiar)