Cerdas Memanfaatkan Nikmat
Allah SWT berfirman, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 261).
Kunci menjadi pribadi ahli syukur adalah memanfaatkan nikmat Allah untuk semakin dekat kepada-Nya. Allah mengaruniai kita dengan tubuh yang sehat dan lengkap, maka gunakanlah untuk memaksimalkan ibadah kepada-Nya. Kening ini gunakan untuk memperbanyak sujud kepada Allah. Sepasang tangan ini gunakan untuk melakukan kebaikan, menolong orang, merawat alam, dan lingkungan.
Tidak sedikit orang yang dikaruniai fisik yang sehat dan kuat, namun menggunakan kekuatannya untuk menindas orang lain yang tidak sekuat dirinya. Tidak sedikit pula orang yang merasa masih muda dan sehat, justru mengonsumsi zat-zat yang malah meracuni dirinya sendiri bahkan orang lain. Padahal kesehatan dan kekuatan itu adalah karunia dari Allah, tidak bisa diciptakan oleh manusia, sehingga ini menjadi karunia yang tidak ternilai. Jika seseorang malah merusaknya, bukan merawatnya, ini tentu perbuatan yang dangkal dan mendatangkan kerugian.
Oleh karena itulah, sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas menerangkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara :(1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, (2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, (3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, (4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, (5) Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Hakim).
Dalam hadis yang lain Rasulullah berpesan bahwa manusia seringkali terpedaya manakala ia sedang berada dalam kesehatan. Kondisi tubuh yang baik-baik saja justru membuatnya lalai dari beramal saleh, ia memilih bermalas-malasan, malas berolah raga, malas menunaikan ibadah, malas berbuat kebaikan lainnya. Sedangkan ketika sakit mendera, maka ia meratapi sakitnya dan berandai-andai seandainya tubuhnya sehat maka ia akan berbuat ini dan itu.
Rasulullah bersabda, “Ada dua kenikmatan yang banyak membuat manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (QS. Bukhari).
Imam Ibnu Jauzi, semoga Allah rida kepadanya, menerangkan banyak di antara manusia ini yang berada dalam kondisi tubuh yang sehat, namun tidak memiliki waktu luang. Dan, banyak pula di antara manusia yang memiliki waktu luang, namun ia dalam kondisi tidak sehat. Oleh sebab itu, godaan terbesar akan datang kepada orang yang memiliki keduanya, yaitu sehat dan waktu luang. Godaan untuk bermalas-malasan atau lalai untuk beramal saleh, jika seseorang sudah masuk pada hal yang terakhir ini, maka sungguh ia telah tertipu.
Allah berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr [103]: 1-3).
Orang yang memanfaatkan waktu sebaik mungkin akan beruntung, baik itu di dunia maupun di akhirat. Mengapa? Bayangkan, jika dalam perlombaan balap sepeda, si X berhasil mengayuh dua putaran setiap detik, sedangkan si Y satu putaran setiap detik. Maka, dengan meyakinkan si X yang akan menjadi juara, karena pada detik yang sama ia dapat berbuat lebih banyak daripada si Y. Ini baru dalam urusan dunia.
Bayangkan juga jika si X senantiasa menunaikan salat di awal waktu berjamaah, tidak ketinggalan ia menunaikan juga salat sunnah dan tilawah. Ia juga menyempatkan diri menunaikan dhuha di waktu pagi dan tahajud di malam hari. Ia pun tetap bekerja normal sebagaimana manusia lainnya. Sedangkan si Y berleha-leha. Lebih banyak santai, belanja, nonton, main game dan ngobrol tak karuan. Manakah yang akan beruntung di akhirat kelak? Tentulah si X.
Kerugian orang-orang yang lalai akan semakin bertambah karena waktu yang telah ia lewati tidak pernah kembali. Orang yang bersyukur akan beruntung, sedangkan orang yang lalai akan rugi dan menyesal. Sedangkan kelak penyesalan tak mengubah keadaan.
Kemudian, dalam hal penyikapan kita terhadap nikmat berupa harta kekayaan. Untuk apa harta kita tumpuk-tumpuk padahal tidak semuanya bisa kita pakai. Misalnya mobil berderet-deret di garasi padahal yang dipakai hanya satu. Akan lebih manfaat jika diwakafkan ke pesantren atau ke masjid untuk digunakan kegiatan-kegiatan pendidikan dan dakwah. Selain akan lebih banyak orang yang mendapatkan manfaatnya, juga lebih bernilai di hadapan Allah dan pahalanya mengalir terus kepada kita.
Rasulullah bersabda, “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau doa anak shaleh.” (HR. Muslim).
Barangkali kita ditakdirkan Allah menjadi orang yang punya tabungan uang berlimpah, belanjakan sebagiannya di jalan Allah. Sedekahkan atau wakafkanlah. Jangan pernah berpikir kita rugi jika uang kita dikeluarkan begitu saja untuk berderma. Yakinlah bahwa keberuntungan itu banyak bentuknya. Allah SWT berjanji jika kita membelanjakan harta di jalan-Nya, maka Allah akan melipatgandakannya. Selanjutnya, keberuntungan yang berlipatganda akan datang kepada kita tidak hanya dalam bentuk harta, melainkan dalam bentuk kesehatan, ampunan, pertolongan, hingga berbagai kemudahan hidup di dunia maupun di akhirat. Insya Allah. (KH. Abdullah Gymnastiar)