Tawadhu, Gerbang Kebaikan
Sifat tawadhu akan melahirkan cinta kasih. Itulah yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i, semoga Allah rida kepadanya. Ketawadhuan akan melahirkan berbagai sikap mulia lainnya. Seperti sikap menghargai orang lain yang lebih rendah, menyayangi yang lebih kecil, dan menghormati orang lain yang lebih tinggi.
Tawadhu bisa membuat seseorang lebih terampil mengendalikan emosinya, tidak mudah marah, tidak menampakkan duka lara, serta mudah menerima nasihat. Pun mudah dan terbuka menerima kritik serta lapang dada mengakui kesalahan, termasuk berjiwa ksatria memperbaiki apa yang kurang dari dirinya.
Indah sekali orang yang tawadhu ini. Perangai yang baik terhadap sesama manusia akan memudahkannya untuk melebarkan tali silaturahim. Dan silaturahim adalah urusan yang banyak sekali mendatangkan keberkahan bagi siapa saja yang melanggengkannya.
Pernah salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, “Apakah hal yang lebih tinggi nilainya di sisi Allah Ta’ala daripada salat, saum, zakat, dan haji?” Rasulullah menjawab, “Silaturahim. Siapa yang bertakwa kepada Rabbnya dan menyambung silaturahim niscaya umurnya akan diperpanjang, hartanya akan diperbanyak, serta keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari).
Silaturahim memang benar-benar bisa menjadi jalan kesuksesan bagi siapa saja yang menjalinnya. Silaturahim yang terjalin dengan baik, maka banyak hal baik pula yang bisa terjadi. Saling bertukar ilmu dan pengalaman, bahkan hingga kerja sama dalam kebaikan. Silaturahim adalah gerbang bagi banyak kebaikan lainnya. Inilah yang dinamakan dengan keberkahan silaturahim. Kebaikan yang semakin bertambah dan bertambah setiap waktu.
Semua itu berawal dari sikap tawadhu. Kerendahan hati telah membuka peluang bagi terjalinnya silaturahim. Orang yang tawadhu terlatih untuk mengambil inisiatif menyapa dan mengucapkan salam saat bertemu orang lain. Orang yang tawadhu juga tidak akan sulit untuk berkunjung saat yang tepat untuk memanjangkan silaturahim. Tidak ada gengsi di hatinya, mentang-mentang jabatannya tinggi maka ia gengsi berkunjung ke orang lain yang memiliki status sosial biasa saja. Atau mentang-mentang dia kaya raya, selalu berangkat dengan mobil lengkap dan sopirnya, lantas menjadi gengsi untuk menyapa secara tulus tetangganya yang sedang berjalan kaki. Orang yang tawadhu tidak akan begitu.
Tidak ada urusan dengan jabatan, pangkat, gelar, harta kekayaan. Bagi orang tawadhu semua itu hanya aksesoris biasa saja. Semua itu hanya penunjang keperluan kehidupan semata. Bukan sesuatu yang harus diperlakukan luar biasa. Yang paling penting bagi seseorang yang tawadhu adalah keridaan dari Zat yang Maha Pemberi Rezeki; yang Maha Mengetahui kadar kemampuan makhluk-Nya untuk memikul amanah. Sedang selebihnya, ia hanyalah makhluk biasa saja yang tidak pantas sedikit pun berjalan di muka bumi dengan membawa kesombongan.
Seperti padi, semakin berisi semakin merunduk. Demikian orang tawadhu itu. Semakin Allah mengaruniakan kepadanya berbagai keberlimpahan dalam bentuk apa pun, maka semakin dia sadar bahwa dirinya tak kuasa terhadap apa-apa. Semua itu hanyalah titipan semata dan harus dimanfaatkan dengan penuh amanah.
Rasulullah bersabda, “Tidaklah kurang harta karena sedekah, tidaklah menambah kepada seorang hamba sifat pemaaf kecuali dia akan mendapatkan kemuliaan, serta tidaklah seseorang menerapkan sifat tawadhu karena Allah kecuali Allah pasti mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim, ad-Darimi, Ahmad). (KH. Abdullah Gymnastiar)