Makna Syair Lir-Ilir Sunan Kalijaga
Salah satu tembang dolanan terkenal di masyarakat kita adalah syair Lir-Ilir ciptaan Raden Said pada abad keempat belas. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga adalah anggota Walisongo yang sering menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana berdakwah.
Syair Lir-Ilir ini mengandung pesan moral yang sarat dengan nilai-nilai religius, tanggung jawab, kedisiplinan, kerja keras, dan pantang menyerah. Seperti dibahas oleh Niken Kusumarini pada Lir-Ilir dan Penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa, Lir-Ilir ini sangat pas dijadikan contoh strategi para wali dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa kala itu yang masih sangat terpengaruh agama-agama sebelumnya.
Perlambang Keimanan
Lir-ilir
(Bangunlah)
Lir-ilir, lir-ilir, tandurè wus sumilir
(Bangunlah, bangunlah, tanaman sudah bersemi)
Tak ijo royo-royo tak sengguh temantèn anyar
(Demikian menghijau bagaikan pengantin baru)
Dua larik syair tersebut bermakna umat Islam diminta untuk bangun dari keterpurukan dan sifat malas. Mereka dihimbau untuk rajin mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Allah dalam dirinya. Keimanan dilambangkan dengan tanaman yang mulai bersemi dan menghijau.
Keberadaan dan kondisi tanaman tersebut sangat tergantung dari sifat manusia. Jika manusia malas merawat dan memupuknya, tanaman iman tersebut akan mati. Jika manusia bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman keimanannya, tanaman tersebut akan tumbuh besar sehingga manusia akan mendapatkan kebahagiaan layaknya pengantin baru.
Penggembala dan Rukun Islam
Cah angon, cah angon, pènèkna blimbing kuwi
(Anak gembala, anak gembala panjatlah (pohon) belimbing itu)
Lunyu lunyu yo pènèken kanggo mbasuh dodotiro
(Walaupun licin dan susah tetaplah kau panjat untuk membasuh pakaianmu)
Berdasarkan dua larik syair tersebut, manusia dibaratkan sebagai gembala yang sedang menggembalakan sesuatu pemberian Allah Ta’ala, yaitu hati. Menggembalakan hati bertujuan mengatur agar hati tidak terjerumus ke dalam hawa nafsu yang dapat merusak iman. Anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang notabene buah belimbing adalah buah bergerigi lima.
Buah belimbing melambangkan lima rukun Islam, yakni syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji. Meskipun licin dan susah, manusia harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut dengan sekuat tenaga. Hal ini mengandung pengertian apa pun halangan dan resikonya, manusia harus berjuang sekuat tenaga dalam menjalankan kelima rukun Islam. Bersungguh-sungguh dalam menjalankan kelima rukun Islam berguna mencuci dan membersihkan pakaian kita, yaitu pakaian ketakwaan. Tuntunan itu berkaitan pula dengan dua larik syair berikut:
Dodotiro, dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
(Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak di bagian samping)
Dondomana jrumatana kanggo sèba mengko sorè
(Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore)
Dua larik tersebut mengingatkan bahwa ketakwaan manusia seringkali terkikis dan mengalami penurunan kualitas seiring bertambahnya waktu. Manusia sebagai makhluk yang mudah terpengaruh cenderung mengalami penurunan dalam kualitas beribadah dan menjalankan kewajibannya jika tidak diimbangi dengan pembenahan diri. Oleh karena itu, manusia diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak manusia siap ketika suatu saat dipanggil menghadap ke hadirat Allah.
Waktu Luang dan Kesehatan
Mumpung padhang rembulanè, mumpung jembar kalanganè
(Mumpung bulan bersinar terang, mumpung banyak waktu luang)
Yo surako surak hiyo
(Bersoraklah dengan sorakan iya)
Ketika masih sehat dan masih mempunyai banyak waktu luang, manusia mestinya melakukan hal-hal yang telah dijabarkan pada syair sebelumnya. Kesehatan dilambangkan dengan terangnya bulan. Jika ada seseorang yang mengingatkan kepada manusia tentang hal-hal tersebut, jawablah dengan seruan ‘Ya!’.
Berdasarkan uraian ini, terlihat bahwa filosofi tembang dolanan Lir-Ilir sarat akan nasihat ketakwaan. Tembang karya Sunan Kalijaga ini menjabarkan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Pesan moral dikemas dengan syair dan irama yang mudah diingat oleh masyarakat. Analogi-analogi yang digunakan pun dapat dipahami dengan logika sederhana sehingga mudah diterima oleh masyarakat pada saat itu. (Gian)