Kepemimpinan dan Hak Umat

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat merupakan pemimpin yang senantiasa mendahulukan kepentingan umatnya daripada kepentingan pribadi dan keluarga. Karena menjadi pemimpin berarti siap berkorban demi kepentingan orang banyak yang lebih besar. Menjadi pemimpin berarti siap melayani umat yang dipimpin, bukan kesiapan untuk dilayani.

Seperti dijelaskan oleh Imam al-Mawardi bahwa kepemimpinan dalam Islam memiliki tujuan yang amat mulia. Yakni melanjutkan misi kenabian dalam menjaga dan mengamalkan agama, serta memimpin atau mengatur urusan manusia di dunia. Artinya kepemimpinan dalam Islam bukanlah hanya urusan horizontal seseorang dengan sekelompok orang yang dipimpinnya. Melainkan juga urusan seseorang secara vertikal yakni hubungannya dengan Allah Ta’ala. Sebagaimana Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْ ۚ

فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ۗ

ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ ﴿النساء : ۵۹

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’ [4]: 59).

Maka konsekuensinya seorang pemimpin mestilah sosok yang bisa dijadikan panutan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Karena ketika Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menaati pemimpinnya, maka kata-kata tersebut bukanlah ketaatan dalam maksiat, bukan ketaatan dalam kejahatan, dan bukan ketaatan dalam kemungkaran. Melainkan ketaatan dalam kebaikan dan kebenaran, ketaatan yang ada dalam keridaan Allah Ta’ala.

Jangankan seorang pemimpin umat yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan kita. Perintah orangtua kita pun jika isinya adalah perintah untuk berbuat kemungkaran, maka tidak boleh kita taati. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۗوَاِنْ جَاهَدٰكَ لِتُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ

فَلَا تُطِعْهُمَا ۗاِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ﴿العنكبوت : ۸

Artinya: Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orangtuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. al-‘Ankabut [29]: 8).

Menjadi seorang pemimpin bukan urusan yang ringan. Karena menjadi pemimpin hakikatnya tidak hanya melakukan kontrak atau perjanjian dengan yang dipimpinnya. Lebih jauh juga ada perjanjian dengan Allah Ta’ala. Tidak heran para pemimpin yang mengurusi berbagai bidang di negeri kita selalu dilantik atau diangkat melalui pengucapan ikrar sumpah berdasarkan agama. Maka, kepemimpinan ialah urusan yang berat dan tidak boleh seseorang yang sudah diangkat sebagai pemimpin malah mempermainkannya.

Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa mengambil hak seorang muslim dengan tangan kanannya maka Allah telah mewajibkan neraka baginya dan mengharamkan surga untuknya.“ Maka seseorang bertanya, Sekali pun barang sedikit wahai Rasulullah? Maka beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang siwak.” (HR. Muslim). (KH. Abdullah Gymnastiar)