Ketawaduan Nabi Muhammad
Nabi Muhammad adalah manusia yang paling mulia akhlaknya. Tidak ada yang menandingi ketinggian akhlak beliau. Siti Aisyah menerangkan bahwa akhlak Nabi Muhammad adalah al-Quran. Dengan kemuliaan akhlaknya inilah, Islam bisa tumbuh dan berkembang.
Meskipun pada perjalanan dakwah beliau banyak sekali orang-orang yang menentang dengan sangat kasar. Tetapi itu tidak membuatnya menampakan balasan yang buruk. Dan salah satu sifat mulia Rasulullah adalah ketawaduannya.
Meskipun kedudukan Nabi Muhammad sangatlah tinggi dan agung, namun sama sekali tidak menampakan ciri kemegahan dunia pada hidupnya. Beliau senantiasa berada dalam kesederhanaan hidup meski kedudukan beliau setara bahkan melebihi raja-raja dunia. Nabi Muhammad adalah sosok yang sangat dekat dengan orang-orang di sekitarnya. Padahal di saat yang sama raja-raja Persia dan Romawi sangat menjaga jarak dengan rakyatnya.
Inilah Rasulullah, sosok agung yang pernah membuat orang seperti Umar bin Khattab seketika menangis melihat kesahajaannya. Suatu ketika Umar bin Khattab melihat Rasulullah tidur hanya beralaskan tikar yang kasar. Sampai-sampai anyaman tikar itu meninggalkan bekas di punggung dan bahu Nabi Muhammad.
Rasulullah bertanya kepada Umar Bin Khattab, “Mengapa engkau menangis wahai Umar?” Umar pun menjawab, “Bagaimana mungkin aku tidak menangis, Kisra dan Kaisar duduk di atas singgasana yang bertahtakan emas. Sementara tikar ini telah meninggalkan bekas di tubuhmu wahai Rasulullah. Padahal engkau adalah kekasih Allah!”
Lantas Rasulullah pun menghibur Umar dengan bersabda, “Mereka adalah kaum yang kesenangannya disegerakan di dunia dan tak akan lama lagi sirna. Tidakkah engkau rela mereka memiliki dunia, sementara kita memiliki akhirat? Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia adalah seperti orang yang bepergian di bawah terik panas matahari. Dia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi).
Bukannya tidak bisa Rasulullah berpenampilan seperti raja-raja Persia dan Romawi. Mudah saja bagi Rasulullah jika memang menginginkannya. Akan tetapi beliau tidak memilih kemegahan dunia itu. Beliau memilih hidup sederhana dengan segenap kerendahan hatinya.
Jangankan menginginkan singgasana yang dimiliki para raja Persia dan Romawi, bahkan pakaian dan alas kaki pun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjahit dan memperbaikinya sendiri. Suatu ketika Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dilakukan Rasulullah saat berada di rumah. Aisyah menerangkan, “Beliau menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sandalnya, dan mengerjakan segala apa yang layaknya para suami lakukan di rumah.” (HR. Ahmad).
Sungguh semakin kita mengingat-ingat kembali kehidupan Baginda Nabi Muhammad, maka akan semakin rindu dan cinta kita kepadanya. Kerinduan yang mengharu biru karena betapa semakin sulit kita temukan pemimpin umat yang memiliki kerendahan hati sedemikian rupa. (KH. Abdullah Gymnastiar)