Wakaf di Masa Kenabian
Wakaf di masa kenabian telah dimulai bersamaan dengan dimulainya fase dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam di Madinah. Ditandai dengan pembangunan Masjid Quba’. Kejadian ini menjadi tonggak wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan agama.
Peristiwa ini terjadi setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah dan sebelum pindah ke rumah pamannya yang berasal dari Bani Najjar. Kemudian disusul dengan pembangunan Masjid Nabawi yang dibangun di atas tanah anak yatim dari Bani Najjar, yang sebelumnya dibeli oleh Rasulullah dengan harga delapan ratus dirham. Dengan demikian Rasulullah telah mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid tersebut.
Wakaf Rasulullah dan Para Sahabat
Seperti yang dibahas oleh Solikhul Hadi pada Perkembangan Wakaf dari Tradisi Menuju Regulasi, wakaf lain yang dilakukan pada zaman Rasulullah saw masih hidup adalah wakaf tanah Khaibar dari Umar bin Khatthab. Padahal tanah ini sangat disukai oleh Umar dikarenakan subur dan memberikan banyak hasil. Namun demikian, ia meminta nasihat kepada Rasulullah tentang apa yang seharusnya ia perbuat terhadap tanah itu.
Kemudian Rasulullah menyuruh agar menahan pokoknya dan memberikan hasilnya kepada fakir miskin. Umar pun melakukannya. Peristiwa ini terjadi setelah pembebasan tanah Khaibar yang terlaksana pada tahun ketujuh Hijriyah.
Pada riwayat yang lain dijelaskan, bahwa sahabat Utsman bin Affan telah mewakafkan sumur yang airnya dipergunakan untuk memberi minum kaum muslimin. Sebelumnya, pemilik sumur ini mempersulit dalam masalah harga. Maka Rasulullah menganjurkan para sahabat untuk membeli dan mewakafkannya. Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang membeli sumur Raumah maka Allah SWT mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Nasa’i).
Dalam hadis ini beliau menjanjikan bahwa yang membelinya akan mendapat pahala sangat besar kelak di surga. Karena itu, Utsman membeli sumur itu dan diwakafkan bagi kepentingan kaum muslimin. Tidak ada riwayat yang jelas, apakah wakaf sumur Raumah lebih dahulu dari wakaf perkebunan Mukhairik, karena dalam hadis wakaf sumur Raumah tidak disebutkan kapan peristiwa itu terjadi.
Pada zaman Rasulullah masih hidup terdapat sebidang tanah dari Mukhairik, seorang Yahudi yang terbunuh pada saat perang Uhud. Sebelum kematiannya, ia telah berwasiat untuk memberikan tanah tersebut kepada Nabi. Kemudian Rasulullah mewakafkan tanah tersebut. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, kurma yang dihasilkan dari tanah Mukhairik ini sangat terkenal cita rasanya. Imam ibn Syabbah menyebutkan bahwa ketujuh kebun Mukhairik itu bernama al-Dalāl, Barqah, al-A’wāf, alShāfiyah, al-Matsyab, Husna, dan Masyrabat Umm Ibrahīm.
Nabi saw mengambil perkebunan itu setelah perang usai dan terbunuhnya Mukhairik. Beliau menyisihkan sebagian keuntungan dari perkebunan itu untuk memberi nafkah keluarga selama satu tahun. Sedangkan sisanya untuk membeli kuda perang dan senjata untuk kepentingan kaum muslimin.
Menurut sebagian fuqaha, perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap harta peninggalan Mukhairik adalah wakaf. Ini karena Abu Bakar ketika menjadi khalifah tidak mewariskan perkebunan itu kepada keluarga Nabi Muhammad. Kasus yang sama juga terjadi pada perkebunan Bairuha’ yang diwakafkan oleh Abu Thalhah. Padahal kebun itu adalah harta yang paling dicintainya. Maka turunlah ayat Allah Ta’ala:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ ﴿آل عمران : ۹۲
Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 92).
Abu Thalhah bersemangat menyedekahkan perkebunannya. Rasulullah telah menasihatinya agar ia menjadikan perkebunannya itu untuk keluarga dan keturunannya. Maka Abu Thalhah mengikuti perintah Rasulullah tersebut.
Wakaf sosial sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad kepada para sahabat berasal dari wahyu kenabian dan tidak mencontoh pelaksanaan wakaf yang dilaksanakan orang-orang Mesir kuno maupun orang-orang Yunani dan Romawi. Sebab pengetahuan Rasulullah tentang keadaan mereka secara detail sangatlah terbatas. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa wakaf sosial telah ada di kalangan bangsa Arab pada zaman jahiliyah. (Gian)