Tanpa Ponsel, Dunia Baik-baik Saja

Aa ingat zaman SMA dan kuliah dulu tidak ada ponsel, dan hidup dirasakan normal-normal saja. Berbeda jauh dengan sekarang. Banyak orang tidak bisa lepas dari ponsel. Seperti ada yang suka gelisah kalau baterai ponselnya sudah mulai habis. Di mana-mana sibuk mencari colokan listrik, atau panik dan sedih di perjalanan karena lupa membawa casan ponsel.

Ponsel benar-benar membuat hidup kita tidak normal. Pertama, bisa mencuri banyak sekali waktu kita. Ketika bangun tidur yang dicari adalah ponsel. Sambil makan yang dipegang ponsel. Saat belajar atau pun mengobrol, sebentar saja sudah melihat ponsel lagi. Di jalan raya saat berkendara, makin lama lampu merah semakin gembira sebab bisa menulis status. Hingga doa sebelum tidur, “Sampai ketemu twitter, FB, BBM, WA, instagram, games,” dan dini hari kembali bangun untuk munajat menghadap ponsel.

Berapa banyak waktu kita habis akibat terus-terusan memegang ponsel? Seperti suatu waktu,  Aa pernah mengecek para santri karya (karyawan) di Daarut Tauhiid. Aa lihat ada santri yang selalu online (aktif). Saat ada yang komentar sedikit, langsung dibalasnya dengan sempurna. Mungkin kalau Aa ikut komentar baru tidak dibalas, karena takut ketahuan kalau dia tidak jelas kapan bekerjanya.

Kedua, ponsel memang bisa mendekatkan yang jauh, tapi lebih sering justru menjauhkan yang dekat. Mencuri kebersamaan kita dengan orangtua, anak, keluarga, dan teman. Seperti saat kumpul keluarga, kata bapaknya, “Bagaimana kabarnya anak-anak?” “Baik, pak.” “Bu, masakannya bagaimana?” “Iya, pak, sudah matang.”Memang duduknya di satu meja, tapi masing-masingnya bicara sambil melihat ponsel. Saat bertemu tetap saling menyapa dan berbicara, tapi cenderungnya tanpa saling menatap atau menoleh.

Ketiga, bisa membuat kita cenderung narsis dan riya’. Contohnya, mulai dari yang suka pamer ponsel bagus hingga ada yang sebelum makan memajang potret selfie bersama makanannya dulu. Atau, saat bertemu artis, hadir di acara yang ramai, jalan-jalan di tempat yang megah, melihat mobil mewah, sampai setiap membeli apa pun, itu dipotret juga direkam dan dipajang di media sosial (medsos) maupun Youtube.

Bahkan, potret-potret yang dipajang sering kali tidak cocok dengan kenyataan. Bukan hanya penampilan, seperti potretnya banyak yang dipoles pakai komputer, tetapi juga akhlak kita sehari-hari. Misalnya, ada yang yang sebenarnya tidak akrab, tapi karena mau selfie dibikin berdekatan, lalu sesudah itu bermusuhan lagi. Sambil melihat pajangan potretnya, dia mengghibah kenalannya yang berdiri di sebelahnya dalam potret tersebut.

Kalau sudah sibuk ingin mencari pengakuan makhluk, maka ketika ada waktunya belum punya sesuatu untuk dipajang, ia akan mulai pula berbohong. Misalnya, meminjam barang-barang bagus milik teman yang berpunya untuk dipakai selfie kemudian dipajang. Jika terus-menerus begitu, akhirnya bisa terkena penyakit jiwa bagi orang yang suka berbohong, yaitu mitomania.

Keempat, bisa membikin tidak sadar bahwa kita sebetulnya semakin nelangsa.Contoh sederhana bagi yang sudah menikah, kalau suka melihat potret orang-orang yang cantik atau pun ganteng, suami bisa merasa khilaf sudah menikahi istrinya, sama halnya istri juga merasa suaminya sebagai beban. Ada pun bagi yang belum menikah bisa berangan-angan panjang, padahal jodoh yang nanti diberikan Allah kemungkinannya tidak mirip dengan yang diangankan.

Kalau sudah sibuk terus dengan ponsel sebetulnya kita makin tersiksa.Seperti tiap hari mencek pertambahan jumlah like dan follower. Lalu juga sibuk memeriksa kehidupan orang satu per satu, melihat kerjanya di mana, tinggal di mana, sudah menikah atau sudah cerai, apa sudah punya anak atau cucu, anaknya sekolah di mana, pakaiannya bagaimana, kendaraannya apa, kontrakan atau rumahnya warna apa, dan seterusnya.

Sampai suatu waktu menemukan salah seorang yang diperiksa sedang mendapat musibah, “Ya.. ya, dia sekarang sakit berat ternyata,” sambil dalam hati gembira. Padahal kita sendirilah yang jelas-jelas sedang menderita.Termasuk yang tertib nge-games siang dan malam. Karena tanpa disadari sudah kehilangan karunia untuk gemar membaca al-Quran.

Apalagi kalau ponsel itu dipakai untuk mencela dan menghina orang di medsos, melihat pornografi, mengobrol maksiat, janjian berzina, merencanakan kezaliman, menawar dan membagi jatah korupsi, hingga yang membuat kesepakatan menghancurkan bangsa ini. Maka hidup pun makin terpuruk, dan terpuruk tidak bahagia dalam gelimang dosa. Na’udzubillah.

Kelima, ponsel bisa membuat kita ujub dan sombong. Baik itu dengan merek, seri atau harga ponselnya, maupun dengan banyaknya follower yang dimiliki. Misalkan saat melihat teman yang ponselnya sederhana, dalam hati ia berkata, “Menyedihkan sekali dia.” Lalu menepuk-nepuk pundaknya, “Kamu harus sabar, terus saja kerja yang rajin nanti juga bisa beli ponsel sebagus punya saya.” Padahal boleh jadi ponsel yang sederhana itu lebih sering dipakainya untuk mengobrol hangat dengan orangtua dan keluarganya di kampung, sehingga dia yang lebih bahagia.

Begitu dengan yang sibuk menambah jumlah follower. Banyak follower itu tidak penting, yang penting adalah rida Allah. Banyak follower juga belum tentu membuka keridaan Allah. Jangan suka mengaku-aku, karena follower kita juga nge-follow orang lain. Misalkan follower kita sejuta, yang sejuta ini kepada yang lain juga nge-follow. Kita merasa bangga, padahal yang punya kita jarang dibaca. Apalagi bagi yang followernya dibeli, lebih aneh lagi karena dia jadi ujub dalam karangan.

Nah, saudaraku. Demikian sejumlah hal yang bisa diakibatkan oleh ponsel, dan mungkin masih banyak yang lain. Tetapi semuanya itu karena ponsel sudah menjadi Tuhan di hati kita. Hal ini benar-benar penting untuk ditafakuri. Karena dulu tidak ada ponsel, dunia juga baik-baik saja. Rasulullah saw pun tidak pakai ponsel maupun medsos, tapi beliau tetap ada di hati umat.

Mungkin ada yang berkata, “Aa’, kita kan bukan Rasul!” Benar, dan memang setelah beliau sudah tidak ada lagi Rasul. Maksudnya, mari tanyakan hati terdalam, mengapa kita sampai diperbudak oleh ponsel? Bahkan saat mau salat balapan dengan ponsel, “Tunggu ya sudah qomat.” Selesai salat mengucap “Assalamu’alaikum” ke kanan, lalu ke kiri “Wa ‘alaikum salam” sambil menempelkan ponsel ke telinga, dilanjutkan lagi dengan wirid jempol.

Tentunya, ini bukan berarti larangan memakai ponsel. Karena ponsel hakikatnya Allah juga yang menciptakan. Berbagai macam ponsel yang makin canggih itu, Allah yang mengilhamkan pembuatannya. Melihat setiap ciptaan Allah, semestinya kita kagum dan langsung ingat kepada-Nya. Dengan takjub pada kecanggihan ponsel sekarang ini, misalnya kita bisa makin mengerti bahwa mukjizat para nabi itu bukanlah karangan.

Ponsel maupun medsos yang diciptakan Allah harus kita sikapi dengan baik dan benar, supaya hidup kita diridai-Nya. Bukan malah menjadi illah di hati kita. Ponsel jangan dijadikan sebagai sarana bermaksiat, tempat menambah dosa, alat untuk menghapus hangatnya kebersamaan, media untuk pamer dan narsis, belahan jiwa untuk membikin diri sendiri makin nelangsa, sehingga merasa tanpa ponsel seakan-akan hidup pun berakhir.

Saudaraku. Sekarang ini Aa juga sedang berusaha tidak seserius dulu terhadap ponsel atau pun medsos. Memang ada kalanya ponsel itu penting, tetapi setiap kali kita bisa bertanya ke dalam hati, apakah memang sangat penting atau tidak? Apa menggunakan ponsel untuk hal ini Allah akan rida? Apa membeli ponsel sebagus ini bisa semakin dekat kepada Allah, atau justru dengan punya ponsel membuat kian jauh dari-Nya? Kalau mau jujur kepada hati, maka kita tidak selalu memegang ponsel. Tidak akan keseringan membuka medsos maupun terus-menerus miscall orang yang tidak dikenal.

Kita juga bukan siapa-siapa. Bukan pengambil keputusan di kala genting. Bukan pemegang kunci nuklir, Panglima TNI, Menko, maupun dokter ahli jantung yang harus ditelepon tiap saat. Status kita tidak jelas, dan jika kita mati rasanya juga tidak menimbulkan perang saudara. Buktinya, saat ponsel kita rusak, hilang, atau waktu pulsanya belum bisa dibayar, dunia juga tetap baik-baik saja. Mengapa kita merasa ponsel begitu penting?

Sudahlah. Tidak ada yang gawat, dan tidak semuanya genting harus segera dijawab. Seperti santri-santri yang masuk Program Daurah Qalbiyah, tanpa ponsel juga tidak ada di antara mereka yang hilang ingatan. Jadi, tidaklah mengapa sewaktu-waktu ponsel kita matikan, misalnya 10 menit sebelum salat. Khusyuklah menghadap Allah, dunia baik-baik saja. Ponsel bukan segalanya, yang segala-galanya bagi kita adalah Allah SWT.

Mari kita sibuk mencari keridaan Allah. Jangan sibuk memandangi ponsel terus. Karena kita benar-benar tidak tahu kapan malaikat maut tiba-tiba menjemput. Sedangkan, Barang siapa yang meninggal dan dia mengetahui bahwa sesungguhnya tidak ada illah selain Allah, maka ia akan masuk surga. (HR. Imam Muslim). Jadi, bukan mengillahkan ponsel, medsos, games, internet, dan sebagainya. Semoga sepanjang waktu syahadat kita selalu bagus, dan pada waktunya pulang bisa khusnul khatimah. Amiin. (KH. Abdullah Gymnastiar)