Esensi Ilmu dan Cara Menyampaikannya
Al-Hikam no. 200:
العِبَاراتُ قُوْتٌ لعَا ءـلةِ المُسْتَمِعِيْنَ، ليْسَ لكَ الاَّ ماَ انْتَ لهُ اٰ كِلٌ
Artinya: “Keterangan (kata-kata yang berhubungan dengan ilmu makrifat) itu bagaikan makanan bagi yang mendengarkan (membutuhkannya), dan engkau tidak mendapat apa-apa kecuali apa yang engkau makan.”
Ibaratkan dalam sebuah majelis ilmu, ada jamaah yang datang, ada jamaah yang menyimak. Setiap orang tersebut punya keperluan, keinginan, harapan yang beragam. Kalau seorang pembicara dalam majelis itu sudah banyak sekali merasakan nikmatnya yakin kepada Allah SWT. Betul-betul yakin dengan hati dan berilmu, betul-betul sudah berusaha keras mengamalkan ilmunya, dan menyampaikan ilmu tersebut dengan ikhlas, maka orang-orang yang mendengarnya bisa mendapat banyak dari apa yang disampaikan.
Ada yang membaca, lalu dia langsung menyampaikan. Ada yang membaca kemudian dipahami, lalu disampaikan. Ada yang belajar untuk dipuji sebagai orang berilmu, sebagai orang pintar. Ini akan sedikit yang bisa diambil karena dia sendiri tidak mendapatkan manfaat dari yang dia pelajari.
Ada yang belajar, dipahami, mengamalkan dan menyampaikan dengan ikhlas. Hasilnya akan berbeda, ruhnya akan berbeda. Sehingga tidak perlu heran untuk ilmu yang sama, disampaikan dengan bahasa yang hampir sama, rasanya bisa berbeda. Daya gugahnya, daya ubahnya juga berbeda. Seperti aneh tapi nyata, itulah ruhiyah.
Akan sangat beragam tingkatan orang yang berbicara. Yang paling hebat adalah orang yang bicaranya untuk mencari ilmu dan mendekat kepada Allah Ta’ala. Mengamalkan dengan ikhlas, menyampaikan dengan ikhlas, sehingga ketika berbicara terasa berbeda ruhiyahnya.
Jadi, tidak cukup hanya semangat ingin berdakwah. Harus diawali dengan semangat mencari ilmu dengan ikhlas. Belum tentu dakwah kita itu berpahala, tergantung pada isi hati kita. Tergantung niat dan keikhlasan. Ujian dalam hal ini biasanya ingin dianggap pintar, ingin diakui sebagai lulusan pesantren ternama, ingin diberi gelar dalam hal agama.
Kalau ingin mengambil bagian dalam dakwah, tidak cukup juga hanya tahu akan ilmunya. Tidak cukup hanya bisa bicara. Tidak cukup hanya hafal banyak dalil. Yang lebih penting dari itu adalah niat yang lurus dari awal, mengamalkan dan menyampaikan dengan niat lurus. Yang penting adalah setiap perkataan kita diterima oleh Allah Ta’ala, selebihnya terserah Allah menghujamkan ke hati orang. Siapa pun bisa Allah bukakan hatinya untuk mendengar ajakan kita.
Kita tetap harus apa adanya. Yang aman itu mulut kita harus lebih banyak zikirnya daripada bicaranya. Ibarat roket, amunisi di dalamnya banyak, sehingga ketika keluar melesatnya kuat. Kurangilah bicara sampai kita yakin apa yang dibicarakan itu benar, baik, dan bermanfaat.
(Kajian al-Hikam, Kamis 1 Oktober 2020)