Pendidikan Adab dalam Kitab Ta’limul Muta’allim
Adanya globalisasi dan semakin terbukanya informasi membuat serangan budaya dari bangsa lain semakin mudah masuk. Infiltrasi budaya tersebut tidak semua baik dan perlu diseleksi. Salah satu karakteristik bangsa dan agama yang mulai hilang adalah perkara adab. Padahal adab akan menunjukkan kualitas seseorang, lebih umumnya sebuah bangsa. Semakin beradab sebuah bangsa akan semakin terpandang posisinya di mata dunia.
Proses pendidikan pun sudah mulai mengesampingkan perkara adab untuk diajarkan. Tetapi, hal itu tidak terjadi pada alur dan kegiatan belajar di Pesantren Daarut Tauhiid (DT). Pengajaran adab kepada para santri menjadi prioritas. Misalnya para santri mukim akan selalu mendapatkan pembelajaran dan pembahasan kitab Ta’limul Muta’allim yang memuat adab dalam menuntut ilmu.
Kitab Ta’limul Muta’allim
Dalam dunia pendidikan, khususnya di khasanah keilmuan Islam memiliki kitab yang sangat komprehensif membahas perkara adab, yaitu Ta’limul Muta’allim. Kitab yang aslinya berjudul Ta’limul Muta’allim fith-Thariq at-Ta’alum ini, merupakan kitab yang sudah tidak asing bagi para pencari ilmu syariat di seluruh dunia. Tak kecuali di Indonesia, kitab ini bahkan menjadi buku adab wajib bagi kalangan pesantren sebelum masuk ke bahasan ilmu selanjutnya.
Penulisnya, Imam az-Zarnuji sendiri merupakan seorang ‘alim yang sangat kuat keilmuannya dan faqih dalam berbagai bidang ilmu. Ia mengambil ilmu dari berbagai ‘ulama kibar pada zamannya, dan berhasil melampaui kecerdasan teman-temannya. Buku ini merupakan panduan bagi seluruh pencari ilmu agar mereka sampai pada tujuan pembelajaran yang sesungguhnya, alih-alih sekadar mendapatkan pengetahuan.
Pentingnya Adab
Titik kritis yang bisa langsung kita rasakan mengenai pendidikan Barat saat ini setelah membaca Ta’limul Muta’allim adalah hilangnya adab penghormatan yang semestinya antara guru dan murid. Padahal Imam az-Zarnuji menegaskan seorang penuntut ilmu tidak akan memperoleh ilmu; dan tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu itu, hingga dia memuliakan dan menghormati ilmu dan para ahlinya.
Sikap ini pun berlaku timbal balik, di mana adab guru terhadap murid pun nyaris tak berjejak kita rasakan. Hal ini terjadi (selain karena sekularisasi pendidikan) disebabkan munculnya gejala kapitalisasi pendidikan, di mana hubungan murid dan guru menjadi sebatas hubungan bisnis. Murid membayar guru untuk jasanya, guru mentransfer pengetahuannya. Selesai. Tanpa ada keterkaitan emosi yang erat.
Dalam sistem pendidikan modern hari ini, kapasitas atau kemampuan guru pun harus kembali ditinjau. Mengapa? Karena tak semua guru berhasil menjadi ‘guru’ setelah proses kesarjanaan pendidikan. Hal ini membuat kita tidak dapat secara sepihak menyalahkan para penuntut ilmu yang tak beradab, jika mereka sehari-hari mendapati guru-gurunya melakukan hal yang demikian pula. Ada kedalaman dan pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait hubungan guru dan murid ini.
Kemudian, hilangnya adab ini secara nyata mempengaruhi keberkahan ilmu pengetahuan yang didapat seorang penuntut ilmu. Termasuk pertanggungjawaban akan ilmu dan pengamalannya juga menjadi hal yang tidak dibahas dalam konsep pendidikan Barat. Ini disebabkan konsekuensi dari sekularisasi pendidikan.
Keberkahan bukanlah sesuatu yang sebenarnya tak bisa diukur, tapi secara logika mirip seperti teori efek kupu-kupu (butterfly effect). Perbuatan-perbuatan baik berupa adab, tentu akan mempengaruhi dan menghasilkan kebaikan-kebaikan lain di masa depan. Karena keberkahan bermakna berlipatgandanya kebaikan (ziyadatul khayr).
Keberkahan ilmu seorang pembelajar bisa terlihat dengan jelas pula pada kehidupan kesehariannya. Seharusnya ilmu yang telah dia pelajari bisa memperbaki kualitas pribadinya dan kehidupan sosialnya. Ilmu yang berkah akan membuat kehidupan pemiliknya menjadi penuh dengan kebaikan. (Gian)