Menyingkap Rahasia Keahlian Pengusaha Mikro
Ada pembahasan menarik sore itu ketika saya diskusi dengan kolega bisnis. Salah satu tema yang dikaji, selain membahas tentang dampak sosial-ekonomi dari kondisi sekarang, juga tentang prospek bisnis di tahun ini.
Dalam praktiknya, menurut Bang Jala seorang pengusaha warung nasi, “Menjadi pembisnis itu identik dengan seorang sepelancar.” Karenanya, “Sebesar apa pun gelombang, seorang pembisnis harus tetap tegar dan bisa mengikuti arus gelombang. Bukan menentangnya.” Lebih lanjut beliau menjelaskan, “Dalam kamus seorang pembisnis, perubahan dalam tataran perekonomian tak ada kata masalah. Kuncinya, fokus, fokus, fokus!” ujar bapak tiga anak ini.
Fokus dalam menjalankan bisnis merupakan sebuah harga mati. Itulah sebabnya, sering berganti profesi dalam mengelola bisnis, bukan saja merugikan diri sendiri, melainkan bisa melemahkan daya tawar dalam proses bisnis. Artinya, orang lebih mudah melupakan bisnis kita daripada mengenal dan menjadi pelanggan setianya. Kondisi itu disebabkan karena, dalam jangka waktu yang relatif pendek perubahan bisnis kerap terjadi.
Sebagai seorang perencana dan praktisi pemberdayaan masyarakat, dengan konsentrasi pada kewirausahaan ekonomi mikro dan LKM (Lembaga Keuangan Mikro), saya sering menyaksikan dan menemukan di lapangan, pada umumnya para pengusaha mikro dan binaan pengusaha mikro yang tergabung dalam kelompok bisnis, kerap berganti usaha dengan cepat.
Contoh kasus yang saya temui, Mang Darsim seorang urban dari Kabupaten Kuningan Jawa Barat penjual bubur ayam di Bandung hanya bertahan tiga tahun saja. Selanjutnya beliau tertarik ikut saudaranya mengadu nasib di metropolitan menjadi tukang kredit. Padahal menurut pengamatan dan cerita yang pernah disampaikan kepada saya, jualan bubur yang ditekuninya cukup menguntungkan. Tapi mengapa bisa berubah pikiran? Alasannya sederhana, ingin memiliki pengalaman di dunia bisnis lain!
Yaa… begitulah karakteristik pengusaha mikro di negeri ini.
Selain itu, karakter lain yang saya temui dalam menjalankan usahanya, pengusaha mikro memiliki cenderungan buka usaha bukan berdasarkan talenta, keahlian atau keterampilan. Mereka pada umumnya melakukan usaha hanya berdasar trend bisnis, daripada nganggur, atau bahkan hanya sekedar ikut-ikutan. Yang lebih memprihatinkan lagi, di antara mereka banyak yang menjalankan bisnis sekedar sampingan saja. Mengisi waktu luang.
Hasilnya? Bisa ditebak. Bisnis hanya sekedar menghabiskan modal dan usia semata. Di tingkat kecil dan menengah kondisi serupa tak jauh beda. Hanya tingkat presentasinya saja yang berbeda.
Meskipun demikian, saya memiliki kesimpulan bahwa pengusaha mikro dan kecil memiliki satu keahlian khusus, yakni keahlian untuk mempertahankan hidup, sehingga melahirkan kreatifitas dan peluang-peluang usaha. Demikian potret para pengusaha mikro. Salam Sukses! (daaruttauhiid)