Mulianya Seorang Mujahid
Mujahid ialah orang yang berjihad. Dinamakan berjihad apabila seseorang mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencapai suatu tujuan. Kemampuan yang dikerahkan tidak sekadar kemampuan fisik, seperti kekuatan otot, kegesitan, dan keterampilan tubuh lainnya. Namun, mencakup pula pengerahan ketajaman pikiran, kesabaran, dan keteguhan.
Lapangan jihad sangatlah luas. Mulai dari aspek ruhiyah hingga jasadiyah, dari masalah keseharian di mana seorang muslim mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mewujudkan tujuannya, hingga masalah perang (qital). Hanya saja, keutamaan dan kemuliaan mujahid yang dimaksud ialah mereka yang berjuang di jalan Allah dalam rangka menegakkan kalimat Allah melalui peperangan melawan kaum kuffar dan kaum penindas lainnya.
Keutamaan Jihad
Upaya mengecilkan jihad dalam pengertian perang di jalan Allah dengan menyebutnya jihad kecil, sementara jihad besar (jihad akbar) adalah perang melawan hawa nafsu, bersumber dari dua sebab. Pertama, kesalahan dalam memahami jihad itu sendiri. Seorang mujahid tidaklah mungkin menerjunkan dirinya pada medan perang jika ia belum mampu menundukkan hawa nafsunya, meninggalkan kemalasan dan kesenangan yang membuai hatinya. Artinya, seorang mujahid adalah orang yang telah melalui tahap memeranngi hawa nafsu (jihadun nafs). Kedua, kelemahan menghadapi perang pemikiran (ghazwul fikr) yang menyesatkan pengertian jihad, dan mengebiri maknanya dengan beragam tuduhan serta fitnah atas pelaksanaan jihad di dalam Islam.
Sungguh, Rasulullah telah memberikan keutamaan bagi orang-orang yang melaksanakan kewajiban jihad. Hal ini sebagaimana telah diberikannya gelar mujahid bagi orang-orang yang berjihad. Hal ini tidak beliau berikan kepada amal-amal ibadah lainnya. Rasulullah tidak memberikan gelar al-musholi bagi orang yang menunaikan salat, atau as-shoim bagi yang melaksanakan saum, atau al-haj bagi orang yang naik haji (kecuali kebiasaan yang ada di Indonesia).
Hal ini, menurut syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah, karena keutamaan seorang al-mujahid tidak pernah menimbulkan kedengkian (hasad) dari orang lain. Berbeda dengan amal ibadah lainnya, bisa jadi menimbulkan dengki pada orang lain. Orang bisa dengki melihat orang lain yang melaksanakan salat, ia bisa mencela atau melakukan salat dengan “penampilan” yang lebih baik. Bisa pula orang dengki kepada yang saum, lalu ia melakukan saum yang lebih “baik” dan lebih sering. Demikian pula halnya pada ibadah haji, bisa menumbuhkan dengki. Namun ibadah jihad, tak ada orang yang dengki karenanya.
Jihad, Puncak Keimanan
Kemuliaan seorang mujahid bisa disebabkan karena amal jihad adalah puncak perjuangan seorang mukmin dalam membuktikan kebenaran imannya, sehingga apabila ia mengalami kematian pada saat berjihad, ia disebut sebagai seorang syuhada, yang berarti orang yang telah mempersaksikan kebenaran imannya. Setiap mukmin, tentu saja akan berupaya membuktikan kebenaran imannya, sehingga betapa bisa dipahamin apabila asy-syahid Imam Hasan al-Banna menggariskan prinsip hidup seorang muslim di mana “jihad menjadi jalan hidup, dan syahid sebagai puncak tertinggi cita-citanya”.
Selain itu, sangatlah sulit bagi seorang pendengki untuk mendengki seorang mujahid di mana ia mengharapkan kemuliaan mujahid melekat pada dirinya. Sebab pada saat gelar al-mujahid melekat pada diri seseorang, maka sesungguhnya ia telah berada pada tahap di mana ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menundukkan musuh-musuh Allah yang berada di luar dirinya. Ada pun peperangan menghadapi musuh-musuh yang ada dalam dirinya adalah tahapan yang telah dilaluinya.
Tidaklah mungkin seseorang mengangkat senjata untuk maju ke medan jihad, apabila hawa nafsu masih menguasai dirinya. Berjihad dalam Islam, tidak sekadar membutuhkan keteguhan dan kesabaran dalam mengendalikan diri, namun dituntut pula kesetiaan dan kedisiplinan pada etika dan akhlak saat berjihad. Sesuatu yang sangat berat. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seorang yang hasad bila “sekadar” untuk memperoleh gelar al-mujahid. (daaruttauhiid)