Kurban dalam Bingkai Ketauhidan dan Nilai Sosial
Ibadah kurban merupakan penyembelihan hewan yang dilakukan pada hari Raya Haji (selepas salat Idul Adha) dan hari-hari Tasyriq (11,12 dan 13 Dzulhijjah). Tujuannya tentu saja untuk beribadah kepada Allah SWT, sebagai jalan menghidupkan syariat Nabi Ibrahim as yang kemudian disyariatkan kepada Nabi Muhammad saw.
Peradaban Arab sebelum Islam telah mengenal persembahan suci dengan menyembelih atau mengorbankan sesuatu yang berharga, salah satunya berupa manusia. Budaya ini juga dikenal pada masa Mesir kuno, India, Cina, Irak, dan sebagainya. Kaum Yahudi juga pernah mengenal kurban manusia. Namun, lama-kelamaan kurban manusia berganti dengan kurban berupa hewan atau barang berharga lainnya. Contoh, pada masa jahiliyah, kaum pagan (penyembah berhala) Arab mempersembahkan lembu dan onta ke Ka’bah sebagai kurban untuk tuhan mereka.
Ada pun Islam adalah agama langit yang abadi, memiliki konsep persembahan kurban yang sempurna. Islam memasukkan dua nilai penting dalam ibadah kurban ini, yaitu nilai kemanusiaan berupa misi sosial dengan terkumpulnya makanan daging berlimpah untuk fakir mikin, dan nilai tauhid berupa pesan moral yang terkandung di dalam ibadah ini, yaitu menghilangkan cinta duniawi dan ketergantungan pada makhluk.
Nilai Tauhid
Ibadah kurban menjadi salah satu tolok ukur penting, bahwa untuk mendekatkan diri kepada-Nya mestilah diikuti dengan kebersihan tauhid. Pesan utama dari ibadah kurban adalah misi tauhid, yaitu semangat kemurnian hidup. Basis utama semangat kemurnian ini adalah pengakuan seorang hamba secara mutlak akan keesaan-Nya, yang tercermin dalam kalimat la ilaaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah), dan menegasikan (menolak) segala otoritas serta hukum-hukum yang datangnya bukan dari Allah.
Meskipun kalimat syahadat tersebut kerapkali diucapkan, tetapi tidak jarang manusia ingkar atas ucapannya sendiri. Artinya, di samping menyembah Allah, manusia juga menuhankan sesuatu yang bukan Allah sebagai tuhannya. Di antara “sesuatu bukan tuhan” yang sering dipertuhankan manusia adalah hawa nafsu (QS. al-Furqon [25]: 43 dan QS. al-Jatsiyah [45]: 23) dan ketergantungan pada makhluk. Dalam praktiknya, penuhanan hawa nafsu itu berupa penurutan segala keinginan duniawi sehingga mengenyampingkan kepatuhannya kepada Allah SWT. Ada pun ketergantungan pada makhluk berupa menyandarkan hidup dan kehidupannya kepada selain Allah, baik itu uang, jabatan, manusia, lain dan sebagainya.
Pada saat pengucuran darah hewan kurban, sesungguhnya adalah pengikisan tuhan-tuhan palsu dari kepribadian manusia. Kurban adalah penyembelihan terhadap kesewenangan, keangkuhan, keserakahan, kerakusan, kezaliman, kebiadaban, kekurangajaran, atau kebinalan yang mewujud menjadi tuhan palsu pada diri manusia. Sebab, selama tuhan-tuhan palsu itu tidak “disembelih”, maka selama itu pula manusia tidak bisa dekat dengan Allah. Bagaimana bisa dekat, apabila manusia memiliki kepribadian ganda, yaitu di satu sisi merasa membutuhkan Allah, tetapi di sisi lain justru ia berkehendak menjadi Allah itu sendiri.
Pesan Kemanusiaan
Kurban mengajarkan pula bahwa pendekatan diri kepada Allah hendaknya ditempuh melalui pendekatan diri kepada sesama manusia, yaitu menyantuni dan memberdayakan kaum dhuafa. Pesan seperti ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw, “Tidak termasuk orang yang beriman kepadaku, seseorang yang bisa tidur nyenyak dalam keadaan kenyang, sedangkan ia tahu bahwa tetangganya berbaring dalam keadaan lapar.” (HR. al-Bazar).
Islam mengajarkan, jika ingin mendapatkan nikmat maka hendaklah nikmat itu disebut-sebut atau disebarkan kepada orang lain (QS. adh-Dhuha [93]: 11). Dalam kaitan ini pula, kurban adalah salah satu bentuk penyebaran nikmat itu. “Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).” (QS. al-Kautsar [108]: 1-3).
Karenanya, kurban diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran individu akan nilai-nilai kepedulian, menjadi mediator (penghubung) antara mereka yang kaya dengan dhuafa. Selain itu, kurban juga bisa bermakna pembebasan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan dari kesewenang-wenangan kepada manusia lainnya. Ketika Allah mengganti Ismail dengan seekor domba, hakikatnya Dia menyampaikan misi kepada manusia untuk menghindarkan dirinya dari kekerasan dan eksploitasi. Secara umum kurban bisa menjadi media bagi umat dalam menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).
Saat berlangsungnya hari Raya Kurban, terjadi kemeriahan dengan menikmati hasil sembelihan hewan kurban. Kaum fakir yang sangat jarang mengonsumsi daging, saat itu seakan dimanjakan oleh Allah untuk bersama-sama menikmati karunia-Nya. Kebahagiaan kaum lemah merupakan pesan moral dan nilai yang sangat kental mewarnai peringatan hari Raya Kurban. Menegaskan akan penolakan segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan yang bisa mencederai kebahagiaan kaum miskin. (daaruttauhiid)