Membimbing Anak Mengelola Emosi Marah
Perbincangan mengenai kecerdasan emosi (EQ) telah lama menjadi topik hangat di kalangan masyarakat. Kian banyak yang menyadari bahwa kesuksesan seseorang dalam hidupnya, tidak hanya dari kecerdasan intelektual (IQ) semata, namun juga salah satunya ditentukan oleh kepiawaiannya mengendalikan emosi secara positif. Karena itu, membimbing anak mengelola emosinya secara positif adalah hal utama yang kini harus dipelajari setiap orangtua.
Respon emosi yang paling sering ditunjukkan anak adalah marah. Maka, orangtua harus belajar mengenali penyebab marah dan cara meredakan marah pada anak. Hal penting yang harus orangtua pahamkan pada anak adalah marah merupakan respon manusiawi, fitrah yang dimiliki setiap orang. Marah bukanlah sebuah perasaan yang salah, bila diungkapkan dengan bijak dan tepat.
Jika orangtua mampu memahamkan hal ini, terlebih bisa mendampingi, membantu anak mengelola marahnya, insya Allah anak akan lebih mampu mengenali dan mengendalikan perasaannya. Sekaligus dapat bertindak tepat, tidak merugikan dirinya atau orang lain. Sebaliknya, anak yang kurang pandai mengendalikan emosinya, akan tertekan dan kurang mampu beradaptasi sosial dengan baik. Bahkan, jika berlanjut, marah yang tidak diekspresikan dengan baik, bisa membuat fisik anak terganggu. Misalnya, mudah sariawan, pilek, gugup, atau menjadi kurang percaya diri.
Penyebab Marah Anak
Beragam faktor penyebab emosi marah pada anak di antaranya, pertama karena janji yang tidak ditepati. Seringkali orangtua menjanjikan sesuatu, namun tidak bisa menepatinya, Akibatnya, anak menjadi tidak percaya kepada orangtuanya. Maka, jika terpaksa tidak bisa menepati janji, orangtua harus segera minta maaf. Berikan penjelasan yang sebenarnya kepada anak. Sebaliknya, upayakan tidak berjanji karena terpaksa. Misal, ketika anak sedang tantrum, orangtua berjanji jika ia berhenti maka akan dibelikan boneka. Jika demikian, anak menganggap dengan bersikap begitu ia akan memperoleh apa yang diinginkan. Ia pun lalu menjadikan marah sebagai senjata agar orangtua memenuhi kehendaknya.
Kedua, boleh jadi anak marah untuk menarik perhatian orangtuanya. Mungkin karena orangtua terlalu sibuk bekerja, atau karena hadirnya adik baru, sehingga anak merasa orangtua kurang memperhatikan dirinya. Untuk itu, orangtua harus pandai mencairkan suasana, misalnya dengan menggoda anak. Sebaiknya tetap bersikap tenang dan sabar. Barulah setelah kemarahan anak agak reda, sampaikan kepadanya ada banyak cara yang lebih baik untuk mendapat perhatian ayah bunda. Misal, dengan membuat prakarya sendiri, menyanyi, menghafalkan doa, atau hal positif lainnya.
Jika anak marah karena hadirnya adik baru atau cemburu pada saudaranya, maka salah satu solusinya adalah jangan pernah membandingkan antara keduanya. Beri pemahaman bahwa setiap anak adalah kesayangan orangtuanya. Karena itu, perlakuan yang diberikan orangtua hendaknya juga bersifat individual, agar setiap anak merasakan ia benar-benar dicintai orangtuanya. Selain itu, selalu libatkan anak untuk bermain dengan saudaranya, atau turut mengasuh adik bayinya. Sehingga diharapkan anak bisa belajar berbagi dan lebih akrab, lebih sayang dengan saudaranya, insya Allah.
Ketiga, sifat pemarah anak, bisa jadi merupakan ‘sumbangan’ dari orangtua atau lingkungannya. Artinya, anak meniru perilaku orangtuanya yang suka marah. Ia menganggap hal itu wajar dan lazim karena sering menyaksikannya dilakukan oleh orang dewasa di sekitarnya. Atau, bisa jadi anak mencontoh respon emosi ini dari tayangan tv atau lingkungan sosialnya. Dalam hal ini, tentu orangtua harus menjadi teladan utama dalam menunjukkan marah yang proporsional dan tepat kepada anak. Termasuk lingkungan sekitar, atau media yang mungkin agak sulit untuk dikompromikan. Orangtua yang mesti menjelaskannya kepada anak bahwa marah boleh diekspresikan siapa saja, asalkan tepat. Bukannya menambah masalah baru. Mungkin perlu sedikit waktu, namun yakinkah kecerdasan emosi anak pun akan terus terasah seiring dengan perkembangannya.
Keempat, orangtua yang terlalu memaksakan keinginan atau aturan kepada anak juga dapat memicu anak menjadi marah dan kurang merasa dihargai. Mungkin, maksud orangtua adalah memilihkan yang terbaik bagi anaknya. Namun jika tidak dikomunikasikan dengan baik atau terlalu memaksakan, tentu menjadi hal yang salah. Efeknya ketika dewasa anak menjadi kurang pandai menyelesaikan masalahnya sendiri, sering bergantung kepada orangtuanya. Maka, meski sesekali kita memang harus memilihkan sendiri, namun tetap hargai pendapat dan pilihan anak. Begitu pun dalam menegakkan aturan atau disiplin, tunjukkan bahwa dengan disiplin hidup akan lebih teratur dan bermanfaat bagi masa depannya.
Adapun yang terpenting dari semua faktor tersebut, kecerdasan emosi orangtua yang harus lebih tertata apik. Anak adalah peniru ulung dari orangtua dan lingkungannya, sehingga meski upaya pemahaman mengelola amarah dilakukan kepada anak, tetap saja orangtua yang harus memberi contoh. Jadi, orangtua harus mulai belajar dan mempraktikkan cara mengelola marah dengan tepat. Insya Allah. (daaruttauhiid)