Belajar dari Kisah Penanam Duri
Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar yang karya-karyanya tidak saja mengisi khazanah perbendaharaan kisah klasik di dunia Timur kaum muslimin, namun juga sangat digemari masyarakat Barat yang sudah kehilangan semangat religi dan mengalami kegersangan spiritual. Ya, kisah-kisahnya tidak hanya inspiratif tapi juga sarat hikmah.
Salah satu contohnya adalah berikut ini, Jalaluddin Rumi pernah bercerita tentang seorang penduduk Konya yang punya kebiasaan aneh. Ia suka menanam duri di tepi jalan. Ia menanami duri itu setiap hari sehingga tanaman berduri itu tumbuh besar. Mula-mula orang tidak merasa terganggu dengan duri itu. Mereka mulai protes ketika duri itu mulai bercabang dan menyempitkan jalan orang yang melewatinya. Hampir setiap orang pernah tertusuk durinya. Yang menarik, bukan orang lain saja yang terkena tusukan itu, si penanamnya pun berulang kali tertusuk duri dari tanaman yang ia pelihara.
Petugas Kota Konya lalu datang dan meminta agar orang itu menyingkirkan tanaman berduri dari jalan. Orang itu enggan untuk menebangnya. Tapi akhirnya setelah perdebatan yang panjang, ia berjanji menyingkirkan keesokan harinya. Ternyata di hari berikutnya, ia menangguhkan pekerjaannya itu. Demikian pula hari berikutnya, janjinya tidak pernah ia tunaikan. Hal itu terus-menerus terjadi, sehingga akhirnya orang itu sudah amat tua dan tanaman berduri itu kini telah menjadi pohon yang amat kokoh. Orang itu menjadi lemah, sakit-sakitan dan tak sanggup lagi untuk mencabut pohon berduri yang ia tanam.
Sebagaimana biasanya, selalu di akhir ceritanya, Rumi berkata, “Kalian, hai hamba-hamba yang malang adalah penanam-penanam duri. Tanaman berduri itu adalah kebiasaan-kebiasaan buruk kalian, perilaku yang tercela yang selalu kalian pelihara dan sirami. Karena perilaku buruk itu, sudah banyak orang yang menjadi korban dan korban yang paling menderita adalah kalian sendiri. Karena itu, jangan tangguhkan untuk memotong duri-duri itu. Ambillah sekarang kapak ‘Haydar’ dan tebanglah duri-duri itu supaya orang bisa melanjutkan perjalanannya tanpa terganggu oleh kamu.”
Dengan kisah ini sebenarnya Rumi mengajarkan kepada kita bahwa perjalanan tasawuf dimulai oleh pembersihan diri, yakni dengan pemangkasan duri-duri yang kita tanam melalui perilaku tercela kita. Jika tidak segera dibersihkan, duri itu satu saat akan menjadi terlalu besar untuk kita pangkas dengan memakai senjata apa pun.
Praktek pembersihan diri itu dalam tasawuf disebut sebagai praktik takhliyyah, yang artinya mengosongkan, membersihkan, atau menyucikan diri. Seperti halnya jika kita ingin mengisi sebuah botol dengan air mineral yang bermanfaat, pertama-tama kita harus mengosongkan isi botol itu terlebih dahulu. Sia-sia saja bila kita memasukkan air bersih ke dalam botol, bila botol itu sendiri masih kotor. Proses pembersihan diri itu disebut takhliyyah. Kita melakukan hal itu melalui tiga cara; al-ju’i atau lapar (upaya membersihkan diri dari ketundukan kepada hawa nafsu), as-sumtu atau diam (upaya untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakit yang tumbuh karena kejahatan lidah), dan saum.
Setelah menempuh praktek pembersihan diri itu, para penempuh jalan tasawuf kemudian mengamalkan praktek tahliyyah. Yang termasuk pada golongan ini adalah praktik zikir dan khidmah atau pengabdian kepada sesama manusia.
Mengenai zikir yang dijadikan praktik dalam pembersihan diri, ada sebuah kisah menarik lainnya. Suatu saat, Imam Ghazali ditanya oleh seseorang, “Katanya setan dapat tersingkir oleh zikir kita, tapi mengapa saya selalu berzikir namun setan tak pernah terusir?” Imam Ghazali menjawab, “Setan itu seperti anjing. Kalau kita hardik, anjing itu akan lari menyingkir. Tapi bila di sekitar diri kita masih terdapat makanan anjing, anjing itu tetap akan datang kembali. Bahkan mungkin anjing itu bersiap-siap mengincar diri kita, dan ketika kita lengah, ia menghampiri kita.”
Begitu pula halnya dengan zikir, zikir tidak akan bermanfaat bila di dalam hati kita masih disediakan makanan-makanan setan. Ketika sedang memburu makanan, setan tidak akan takut untuk digebrak dengan zikir mana pun. Pada kenyataannya, bukan setan yang menggoda kita tetapi kitalah yang menggoda setan dengan berbagai penyakit hati yang kita derita. Zikir harus dimulai setelah kita membersihkan diri dari berbagai penyakit hati dan menutup pintu-pintu masuk setan ke dalam diri kita.
Dalam Islam, seluruh amal ada batas-batasnya. Misalnya amalan puasa, kita hanya diwajibkan untuk menjalankannya pada Bulan Ramadan saja. Demikian pula amalan haji, kita dibatasi waktu untuk melakukannya. Menurut Imam Ghazali, hanya ada satu amalan yang tidak dibatasi; yaitu zikir. Al-Quran mengatakan, “Berzikirlah kamu kepada Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. al-Ahzab [33]: 41).
Dalam amalan-amalan lain selain zikir yang diutamakan adalah kualitasnya, bukan kuantitasnya. Yang penting adalah baik tidaknya amal, bukan banyak tidaknya amal itu. Kata sifat untuk amal adalah ‘amalan shaliha bukan ‘amalan katsira. Tapi khusus untuk zikir, al-Quran memakai kata sifat dzikran katsira bukan dzikran shaliha. Betapa pun jelek kualitas zikir kita, kita dianjurkan untuk berzikir sebanyak-banyaknya. Karena zikir harus kita lakukan sebanyak-banyaknya, maka tidak ada batasan waktu untuk berzikir.
Nah, ingin hidup bahagia? Ingin setan terusir dalam kehidupan? Tebanglah tanaman berduri yang hingga saat masih kita pelihara dalam diri kita. Selamat mencoba. Wassalam. (daaruttauhiid)