Belajar dari Sumur Utsman
Nama lengkapnya Utsman bin Affan bin Abul Ash (sekitar 574–656 M). Utsman lahir dari keluarga terpandang dan berpengaruh dari suku Quraisy silsilah Bani Umayyah. Sejak remaja hingga memeluk Islam, Utsman dikenal sebagai saudagar kaya raya nan dermawan. Nyaris seluruh hartanya ia berikan untuk perjuangan dakwah Islam.
Golongan as-Sabiqun al-Awwalun
Utsman bin Affan pun dikenal sebagai salah satu sahabat utama Nabi Muhammad saw. Ia bersama-sama dengan Siti Khadijah, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, Ummu Aiman, dan Bilal bin Rabah digolongkan sebagai orang-orang yang pertama masuk Islam (as-Sabiqun al-Awwalun). Kejernihan hati dan kecemerlangan pikiran membuat Utsman dengan perasaan ringan menerima ajaran Islam. Ajakan yang sesuai dengan fitrah manusia, yakni untuk bertauhid (mengesakan Allah SWT).
Peran Ustman dalam perjuangan dakwah Islam juga luar biasa. Ketika Nabi Muhammad saw masih hidup, ia pernah dipercaya sebagai Wali Kota Madinah sementara sebanyak dua kali masa jabatan. Yakni ketika berlangsungnya perang Dzatir Riqa, dan saat Nabi memimpin perang Ghatfahan. Kelak, pascamangkatnya Nabi Muhammad saw, Utsman dipercaya oleh umat Islam untuk mengemban kepemimpinan Islam (Khulafaur Rasyidin) setelah Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.
Sebagai seorang ekonom andal, Utsman memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Baginya, harta kekayaan yang dimiliki harus punya nilai manfaat bagi umat. Sejarah kemudian mencatat bagaimana aksi Utsman dalam membelanjakan hartanya di jalan dakwah. Mulai dari memperluas Masjid Madinah dan membeli tanah di sekitarnya, mendermakan 1.000 unta, 70 kuda, dan 1.000 dirham untuk perang Tabuk, dan membagi-bagikan gandum yang diangkut 1.000 unta bagi kaum miskin ketika terjadi paceklik pada masa pemerintahan Abu Bakar.
Pelajaran dari Sumur Utsman
Namun, ada satu lagi aksi sosial dari Utsman yang kisahnya begitu legendaris. Kisah nyata saat ia membeli sumur milik orang Yahudi di Kota Madinah senilai 20 ribu dirham. Sebelumnya, orang Yahudi itu melakukan praktik monopoli dan menjual air sumur dengan harga tinggi. Setelah sumur dibeli oleh Utsman, ia lalu mewakafkannya. Sehingga semua penduduk di Kota Madinah—termasuk orang Yahudi tersebut—dapat menggunakannya secara cuma-cuma.
Kisah sumur Utsman ini kiranya dapat menjadi contoh ideal bagaimana seharusnya orang kaya bersikap dan bertindak. Menjadikan figur Utsman sebagai teladan dalam membelanjakan atau menggunakan harta. Jika saat ini kita diamanahkan oleh Allah dengan harta berlimpah, kita harus sadar harta itu akan bermanfaat bila digunakan untuk menunjang kehidupan akhirat yang kekal. Bukan untuk dihambur-hamburkan bagi keinginan dan nafsu duniawi yang tak akan pernah terpuaskan.
Selain itu, kisah sumur Utsman juga memberikan kita wawasan setiap individu umat Islam haruslah menjadi sosok yang bermanfaat bagi orang banyak. Mampu menjadi solusi bagi setiap permasalahan umat. Bukan sebaliknya, menjadi masalah dan penghambat gerak laju dakwah. Jika kita dapat memampukan diri menjadi sosok yang bermanfaat, insya Allah akan terbangun budaya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Dan jika budaya fastabiqul khairat telah mengakar kuat, maka hanya tinggal masalah waktu, umat Islam dapat kembali membangun sebuah peradaban terbaik yang pernah ada di muka bumi ini.
Generasi para sahabat telah membuktikannya, bahwa Islam merupakan rahmatan lil alamin. Ketika akhlak mereka menjadi representasi ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, maka Islam menjadi mulia dimata seluruh umat manusia. Contohnya, ketika sumur Utsman menjadi hak milik umat Islam, maka siapa saja boleh mengambil airnya. Inilah wujud riil dari umat Islam itu. Umat yang kehadirannya didamba dan dicinta oleh semua manusia tanpa memandang bangsa atau agamanya.
Menghidupkan kembali Sosok Utsman
Kisah legendaris Ustman bin Affan menggambarkan pula perbedaan yang sangat jauh dengan kondisi saat ini. Yakni ketika hampir seluruh aspek strategis yang menyangkut kehidupan orang banyak, justru dikuasai oleh orang-orang non muslim. Orang-orang yang tidak punya kepedulian dan keberpihakan terhadap umat Islam. Mulai dari sumber energi (listrik dan minyak bumi), barang-barang tambang, hingga kebutuhan vital seperti air bersih, nyaris semuanya ada dalam kekuasaan mereka. Sosok seperti Ustman bin Affan menjadi sangat langka.
Umat Islam pada masa sekarang tidak lagi menjadi subjek dalam peradaban, namun sebagai objek. Hal yang sangat ironis. Wajar kalau hingga saat ini, kita hanya bisa berteriak-teriak pada setiap pelanggaran hukum, kebijakan-kebijakan zalim, bahkan ketika saudara-saudara kita dibantai di Palestina dan belahan bumi Islam yang lainnya. Ini bisa terjadi karena kita tak punya daya untuk menentukan dan mengubah kebijakan-kebijakan yang ada. Salah satunya adalah daya atau kekuasaan dalam bidang ekonomi.
Untuk itu, kini saatnya kita berlomba-lomba agar bermanfaat bagi orang banyak (umat). Kemudian melatih dan meningkatkan kemampuan diri agar siap untuk memperoleh kepercayaan mengemban beban kekuasaan. Dengan kekuasaan dalam genggaman, kita berhak menentukan kebijakan-kebijakan yang strategis. Kita akan semakin leluasa mengembangkan dakwah ini. Mengoptimalkan seluruh perangkat-perangkat negeri untuk mengembalikan kemakmuran dan mendorong terciptanya peradaban baru, peradaban yang meninggikan kalimat Allah SWT. (Suhendri Cahya Purnama)