Pakaian Takwa

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. al-A’raf [7]: 26)

Seiring bertambah jumlah keturunan Bani Adam, Allah SWT memperingatkan agar tidak mengalami kejadian yang dialami moyangnya. Iblis laknatullah berhasil melancarkan tipu daya yang mampu mengeluarkan Nabi Adam as dan Siti Hawa ra dari surga. Maka, tanggal dan lepaslah pakaian yang disandang sehingga terbukalah aurat mereka. Iblis dan pengikutnya sampai akhir zaman akan senantiasa melihat dan memantau “mangsanya” dari tempat tersembunyi, serta menawarkan dirinya untuk dijadikan pemimpin bagi orang-orang yang tidak memiliki iman sama sekali. (QS. al-A’raf [7]: 27)

Allah memberikan perlindungan kepada Bani Adam berupa pakaian. Dalam beberapa firman-Nya, Allah menyampaikan bahwa istri, malam, bahkan lapar dan takut adalah pakaian. Namun dari seluruh pakaian yang diberikan, Allah SWT memberikan pakaian terbaik di sisi-Nya. Inilah “pakaian takwa”, sebuah pakaian yang akan tampil menjadi bagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Menurut konsep ilmu sosial, pakaian dikategorikan sebagai kebutuhan sandang. Artinya, kebutuhan yang tidak sebentar pakai melainkan akan melekat dan menyertai seseorang di mana pun dan kapan pun. Melalui asumsi ini, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa “pakaian takwa” senantiasa melekat dan menyertai serta menjadi bagian dari identitas diri seseorang di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi bagaimana pun.

Setiap orang senantiasa mendayagunakan akal-pikirannya sebelum bertindak. Dan di ujung tindakan, seseorang akan menambatkan amalnya kepada orientasi yang membuatnya bertahan dan istiqamah saat beramal. Nah, “pakaian takwa” akan hadir dalam dua hal penting, yaitu pola pikir dan orientasi.

Dalam setiap ayat-ayat Allah SWT yang berkaitan dengan takwa, kita akan menemukan kata kitab dan akhirat (dan sisanya menjelaskan tentang tujuan seluruh perintah Allah adalah supaya manusia menjadi orang-orang bertakwa). Dengan demikian, kita simpulkan bahwa “pakaian takwa” adalah dasar dan tujuan yang dilandaskan dan ditambatkan pada kitabullah dan akhirat. Dengan kata lain, “pakaian takwa” berisi tentang pola pikir qurani dan orientasi ukhrawi.

Berpola Pikir Qurani
Allah SWT telah menurunkan kitab al-Quran sebagai petunjuk hidup bagi manusia. Ibarat pelita, seseorang tidak akan mungkin menentukan arah dan tujuan gerak kecuali disesuaikan dengan kondisi yang ditunjukkan pelita tersebut. Melalui analogi ini, seseorang yang berpola pikir qurani tidak akan menjadikan produk logika (logis atau tidak logis) menjadi landasan amalnya, melainkan (ditetapkan atau tidak ditetapkan oleh) Dzat Yang Maha di dalam kitab-Nya.

Apakah berpola pikir qurani berarti tidak usah berpikir? Salah besar dan termasuk gagal paham. Allah memerintahkan manusia untuk mendayagunakan akalnya. Dalam QS. Ali Imran [3]: 190-191, al-Quran memotivasi manusia untuk mendayagunakan akal-pikirannya agar mendapat pelajaran dari penciptaan langit-bumi dan silih bergantinya siang-malam. Al-Quran pun memandu manusia bagaimana cara mendayagunakan akalnya dengan benar.

Berorientasi Ukhrawi
“Setelah hidup ada mati dan setelah dunia ada akhirat” atau “dunia tempat beramal sedangkan akhirat tempat memanen”, adalah dua kata mutiara yang selalu dipegang oleh orang yang berorientasi ukhrawi. Karena keimanannya kepada akhirat, ia akan berusaha menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas amalnya.

Seseorang yang berorientasi ukhrawi selalu memastikan amalnya berada dalam keadaan benar dan maksimal. Ia tidak akan pernah melakukan perbuatan sembarangan. Ucapannya senantiasa kebenaran, berusaha adil saat memutuskan, dan memperbaiki kekurangan serta akan senantiasa memaafkan. Jiwanya tidak akan tenang sebelum meminta ampunan. Dunia beserta kesenangan dan perhiasannya dimaknai sebagai permainan dan senda gurau saja yang ia ambil hanya “segenggam”.

Demikianlah orang yang menjadikan takwa sebagai “pakaiannya”. Ia tidak akan pernah menempatkan dunia di dalam hatinya, melainkan di dalam kepalannya. Sehingga dunia tidak menjadi tujuan melainkan media dan fasilitas untuk mendapatkan pahala besar dan tempat terbaik di sisi-Nya kelak. Wallahu a’lam. (Ust. Edu)