Perempuan dalam Dunia Dakwah dan Kerja
“Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, kamu menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar…” (QS.Ali Imran [3]: 104). Dari firman Allah SWT tersebut, kita mengetahui bahwa yang diseru untuk berdakwah adalah semua umat manusia, tak terkecuali kita kaum perempuan.
Rasulullah SAW dan para sahabat menjadikan dakwah di jalan Allah sebagai pekerjaan utama mereka. Di mana pun dan dalam kesempatan apa pun, pikiran mereka tercurah untuk mendakwahkan Islam.
Dakwah dalam segala kesempatan
Khususnya kita kaum perempuan, dapat juga turut berdakwah dalam segala kesempatan. Sambil melihat skala prioritas amanah peran yang sedang dipikul. Apakah ia seorang anak, seorang ibu, seorang istri atau sekaligus beberapa peran ada pada saat yang sama. Perempuan apa pun posisinya adalah proses bekerja sekaligus dakwah (menyeru, mengajak). Perlu kesadaran mengatur diri dan waktu, di dalam atau pun di luar rumah.
Masa sebagai anak
Seorang perempuan lajang mempunyai manajemen waktu cukup longgar untuk mengatur kepentingan diri dan keluarganya. Namun, ia tetap berada dalam tanggungjawab pendidikan dan asuhan orang tua. Terbuka lebar mendapat penghasilan dari usaha bekerja di luar rumah. Nilai dakwah harus mewarnai semua aktivitasnya. Berhati-hati menjaga dirinya sebagai anak yang shalehah (Q.S. Al-Isra [17]: 23-24, dan Q.S.Luqman [31]: 14).
Apa pun pekerjaan yang digelutinya menjalankan aturan Islam, harus halal, tidak bertentangan dengan fitrah keperempuanannya, dapat menjaga adab pergaulan menghindari berduaan (khalwat) dengan laki-laki bukan muhrim, senantiasa menjaga pandangan, berpakaian tidak menampakkan aurat, shalat, menjauhkan diri dari suap-menyuap, memanipulasi data dan lain-lain.
Anak yang masih lajang, leluasa berkarya di luar rumah dengan seizin orangtua. Jangan lupa mengatur waktu membantu di rumah dan mengutamakan berbakti terhadap keduanya.
Masa sebagai ibu
Kaum ibu mempunyai kedudukan yang agak berbeda dan khas karena Allah SWT menempatkan posisi kaum ibu yang setaraf dengan para mujahidah bila ia menjalankan perannya sebagai ibu dan istri dengan baik. “Siapa di antara kalian para istri dan ibu ikhlas tinggal di rumah untuk mengasuh anak-anak dan melayani segala urusan suaminya, maka ia akan mendapat pahala yang kadarnya sama dengan para mujahidin di jalan Allah” (H.R.Bukhari dan Muslim).
Sebagai ibu, menyadari skala prioritas “kurun waktu tertentu”, rumah sebagai basis utama kerja dan dakwahnya. Sekedar contoh, anak sedang dalam masa menyusui, tidaklah mungkin seorang ibu “tega”mengutamakan karier di luar rumah dengan merasa cukup mengambil masa cuti hamil dan cuti melahirkan saja.
Manajemen diri dan waktu seorang ibu justru ditentukan oleh pertumbuhan fisik-motorik, intelektual-kognisi, emosional dan spiritual anaknya, sehingga sedikit demi sedikit ketergantungan anak itu berkurang (pada masa baligh) dan mulai bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri di hadapan Allah SWT.
Oleh karenanya, nilai ibadah terbesar seorang ibu di mata Allah SWT justru membesarkan anaknya dengan penuh tanggung jawab, yaitu berdakwah di tengah-tengah keluarganya lebih dahulu. Idealnya ia punya kegiatan yang fleksibel dari segi waktu, dan dapat mengajak anak ikut serta ketika beraktifitas di luar rumahnya.
Seorang ibu (istri) akan ditanya tentang tugasnya di dalam rumah tangga. Rasulullah SAW, ”Dan seorang istri itu adalah pengatur di dalam rumah suaminya dan ia bertanggungjawab terhadap yang diaturnya itu” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Masa sebagai Istri
Sangat disayangkan kebanyakan para istri di rumah sering tidak PD (Percaya Diri) bila menyatakan dirinya sebagai ibu rumah tangga. Padahal kedudukan mereka itu dalam Islam bernilai sangat mulia dan akan memasuki pintu surga dari mana saja yang ia sukai bila berperilaku sesuai aturan Islam.
Dari Abdur Rahman bin Auf bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika perempuan mengerjakan shalat yang lima, puasa Ramadhan, memelihara kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: ‘masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai’” (H.R. Ahmad dan Thabrani).
Istri berperan besar sebagai motivator, pendamping, pendukung dakwah, dan karier suami di dalam dan di luar rumah tangga. Kita bisa meneladani istri Rasulullah SAW, Siti Khadijah r.a. Di balik kesuksesan seorang ayah, suami, pasti ada perempuan sebagai ibu, istri di belakangnya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Aisyah r.a., Rasululllah SAW bersabda, “Allah tidak pernah menggantikannya dengan seorang perempuan lain yang lebih baik daripada Khadijah. (Tahukah engkau) bahwa ia beriman kepadaku dikala orang lain menentang risalahku. Dia membenarkan apa yang kudakwahkan dikala orang lain mendustaiku. Dia menyokong aku dengan harta yang dimilikinya, sedangkan orang lain mengharamkan sumbangan hartanya kepada usahaku. Dan tahukah engkau bahwa dialah satu-satunya istri tercinta yang telah diberi kurnia oleh Allah dengan keturunanku melalui rahimnya, padahal istriku yang lain tidak memberikan keturunan”.
Siti Khadijah sebagai istri yang setia turut berjihad dengan dana dan jasa sejak 15 tahun sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasulullah dan selama 10 tahun setelah diangkat menjadi Rasulullah.
Semoga saja setiap perempuan dapat menjadi penyeru amar ma’ruf nahyi munkar, berdakwah dengan posisinya masing-masing dan mendapat pahala kebaikan. Amiin. Wallahu A’lam. (Sasa Esa Agustina)