Jauhi Permusuhan
Saudaraku, salah satu perilaku yang dilarang Rasulullah saw bagi kaum muslimin adalah saling bermusuhan. Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah memperkuat hal ini, “Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, kecuali dua orang laki-laki yang terdapat permusuhan antara dia dengan saudaranya. Maka dikatakan, ‘Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.’” (HR. Bukhari, Muslim)
Betapa Rasulullah di dalam hadis ini amat mengecam umatnya yang saling bermusuhan, apalagi hingga tidak mau berdamai dan saling memaafkan. Kecaman beliau sangatlah kuat sampai-sampai ancamannya adalah tidak diampuni dosa-dosanya, sehingga pintu surga tertutup bagi mereka.
Marilah kita ingat kembali bagaimana Rasulullah saw mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Kerekatan tali persaudaraan di antara mereka melampaui kerekatan berdasarkan tanah air, suku bangsa, dan bahasa. Bahkan melampaui persaudaraan yang berdasarkan pertalian darah atau nasab.
Ada satu kisah yang terselip di tengah kisah agung tentang hijrahnya Rasulullah bersama para sahabat dan persaudaraan antara kaum Mujahirin dan Anshar. Yaitu kisah Saad Ibn Ar Rabi’ dan Abdurrahman Ibn ‘Auf. Saad dari kaum Anshar, sedang Abdurrahman dari kaum Muhajirin. Keduanya adalah sama-sama sahabat Rasulullah yang kaya raya.
Ketika hijrah ke Madinah, Abdurrahman tidak membawa harta kekayaannya yang ada di Mekkah. Maka, ia pun tiba di Madinah sebagai orang yang tidak berpunya. Kemudian, Rasulullah mempersaudarakannya dengan Saad. Saad pun seketika itu menawarkan bagian dari kekayaannya untuk dimiliki Abdurrahman. Bahkan, Saad menawarkan salah satu istrinya untuk diceraikan dan kemudian diperistri Abdurrahman. Namun, meskipun Saad menawarkan semua itu dengan penuh kesungguhan, Abdurrahman menolaknya secara halus dan memilih berusaha sendiri melalui perniagaan.
Membaca penggalan kisah kedua sahabat Rasulullah ini, maka kita bisa melihat betapa agungnya persaudaraan sesama muslim. Sungguh, tidak ada keuntungan yang akan kita dapatkan dari pemusuhan, selain dari sesaknya hati dan rasa gelisah manakala berjumpa dengan saudara yang bermusuhan dengan kita.
Oleh karena itu berbesar jiwalah, lapangkan hati kita untuk mau memohon maaf dan memberi maaf. Sebagai gambaran, kalau kita berada di dalam sebuah kamar sempit, dan di kamar itu ada seekor tikus kecil, maka sungguh terasa sengsaranya kita. Betapa tikus itu menjadi masalah yang terasa amat besar buat kita. Namun, kalau kita berada di dalam ruang yang sangat luas yang bahkan seolah tak berbatas, maka jika ada seekor gajah besar di dalam ruangan itu tidak menjadi masalah besar untuk kita.
Demikianlah jika kita memiliki kebesaran jiwa dan kelapangan hati. Rasa kesal, marah, dan permusuhan dengan saudara kita, tidak menjadi masalah untuk kita. Karena kita memiliki kemudahan untuk mau meminta maaf dan memberi maaf.
Allah SWT berfirman, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’râf [7]: 199)
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman, “..Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” (QS. asy-Syurâ [42]: 40)
Dua ayat ini lebih dari cukup bagi kita untuk menyadari Allah sangat mencintai hamba-Nya yang ringan dalam memberi maaf. Rasulullah pun menegaskan kedua ayat ini dengan hadisnya sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa pernah melakukan kezaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat). (Kelak) jika dia memiliki amal saleh, akan diambil darinya seukuran kezalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudara (yang dizalimi) kemudian dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari)
Masya Allah, betapa besarnya urusan maaf-memaafkan ini dalam agama kita. Begitu besarnya, Rasulullah amat menekankan kepada kita untuk bersegera dalam meminta maaf dan memaafkan apabila memiliki kesalahan terhadap sesama.
Karena jika hal itu telat, yaitu kita belum mendapatkan maaf dari orang yang kita zalimi, maka kita menjadi orang yang rugi di akhirat. Kenapa? Karena amal kebaikan kita akan diberikan kepada orang yang kita zalimi seukuran dengan kezaliman yang kita lakukan terhadapnya. Sedangkan jika itu belum juga memenuhi, maka keburukan dirinya akan dialihkan kepada kita. Na’udzubillahi mindzalik!
Oleh karena itulah selain ampunan dari Allah, terdapat juga dosa-dosa yang tidak terhapus kecuali mendapatkan maaf dari orang yang dizalimi atau disakiti. Memang bisa jadi orang yang dizalimi itu memiliki keluasan hati, sehingga ia memaafkan sebelum dimintai maaf. Akan tetapi, mungkin juga sebaliknya, ia diam namun memendam marah tanpa mau memberikan maaf. Hal ini sebagaimana kisah al-Qomah dengan ibunya.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Anas, disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Tidaklah seadaqah itu mengurangi harta; tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan sifat memberi maaf, kecuali kemulian; dan tidaklah seorang hamba merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim)
Rasulullah juga pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Maukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan di akhirat? Memberi maaf orang yang menzalimimu, memberi orang yang menghalangimu, dan menyambung silaturahim orang yang memutuskan (silaturahim dengan) mu.” (HR. Baihaqi)
Permusuhan hendaklah dilawan dengan semangat saling maaf-memaafkan. Karena semangat ini adalah bukti keimanan terhadap Allah dan rasul-Nya, serta wujud nyata persaudaraan di dalam Islam. Semoga kita menjadi bagian dari golongan orang-orang memiliki semangat tersebut dan termasuk golongan yang dijanjikan surga oleh Allah SWT. Aamiin!
(Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar)
Sumber foto : Sesawi.net