5 (Lima) S
Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar
Suatu saat, Adzan maghrib tiba. Kami bersegera shalat di sebuah mesjid yang dikenal dengan temoat mangkalnya aktivitis Islam yang mempunyai kesungguhan dalam beribadah. Di sana tampak beberapa pemuda denga berpakaian “khas Islam” sedang menantikan waktu shalat. Kemudian, adzan berkumandang dan qamat pun segera diperdengarkan sesudah shalat sunat. Hal yang menarik adalah begitu sungguh-sungguhnya keinginan imam muda untuk merapikan shaf. Tanda hitam didahinya, bekas tanda sujud, membuat kami segan. Namun, tatkala upaya merapikan shaf dikatakan dengan kata-kata yang agak terus tanpa senyuman, “Shaf, shaf, rapikan shafnya!”, suasana shalat tiba-tiba menjadi tegang karena suara lantang dan keras itu. Karuan saja, pada waktu shalat menjadi sulit khusyu, betapa pun bacaan sang imam begitu bagus karena terbayang teguran yang keras tadi.
Seusai shalat, beberapa jemaah shalat tadi tak kuasa menhan lisan untuk saling bertukar ketegangan yang akhirnya disimpulkan, mereka enggan untuk shalat di tempat itu lagi. Pada saat yang lain, sewaktu kami berjalan-jalan di Perth, sebuah negara bagian di Australia, tibalah kami disebuah taman. Sungguh mengherankan, karena hampir setiap hari berjumpa dengan penduduk asli, mereka tersenyum dengan sangat ramah dan menyapa “Good Morning!” atau sapa dengan tradisinya. Yang semuanya itu dilakukan dengan wajah cerah dan kesopanan. Kami beupaya menjawab sebisanya utnuk menutupi kekagetan dan kekaguman. Ini negara kita yang sering kita sebut negara kaum kafir.
Dua keadaan ini disampaikan tidak untuk meremehan siapapun tetapi untuk mengevaluasi kita, ternyata luasnya ilmu, kekuatan ibadah, tingginya kedudukan, tidak ada artinya jikalau kita kehilangan perilaku standar yang dicontohkan Rasulullah SAW, sehingga mudah sekali merontokkan kewibawaan dakwah itu sendiri.
Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam berinteraksi dengan sesama ini, bagaimana kalau kita menyebutnya dengan 5 (lima) S : senyum, salam, sapa, sopan dan santun.
Kita harus meneliti relung hati kita jikalau kita tersenyum dengan wajah jernih kita rasanya ikut terimbas bahagia. Kata-kata yang disampaikan dengan senyuman yang tulus, rasanya lebih enak terdenganr daripada dengan wajah bengis dan ketus. Senyuman menambah manisnya wajah walaupun berkulit sangat gelap dan tua keriput. Yang menjadi pertanyaan, apakah kita termasuk orang yang senang tersenyum untuk orang lain? Mengapa kita berat untuk tersenyum, bahkan dengan orang yang terdekat sekalipun. Padahal Rasulullah yang mulia tidaklah berjumpa dengan orang lain kecuali dalam keadaan wajah yang jernih dan senyum yang tulus. Mengapa kita begitu enggan senyum? Kepada orang tua, guru, dan orang-orang yang berada disekitar kita?
S yang kedua adalah salam. Ketika orang mengucapkan salam kepada kita dengan keikhlasan, rasanya suasana menjadi cair tiba-tiba kita merasa bersaudara. Kita terburu-buru ingin menjawabnya, disitu ada nuansa tersendiri. Pertanyaannya mengapa kita begitu enggan mendahului mengucapkan salam? Padahal tidak ada resiko apapun. Kita tahu di zaman Rasulullah ada seorang sahabat yang pergi pasar, khusus untuk menebarkan salam. Negara kita mayoritas umat Islam, tetapi mengapa kita untuk mendahului mengucapkan salam begitu enggan? Adakah yang salah dalam diri kita?
S ketiga adalah sapa. Mari kita teliti diri kita kalau kita disapa dengan ramah oleh orang lain rasaya suasana jadi akrab dan hangat. Tetapi kalau kita lihat di mesjid, meski duduk seorang jemaah di sebelah kita, toh nyaris kita jarang menyapanya, padahal sama-sama muslim, sama-sama shalat, satu shaf, bahkan berdampingan. Mengapa kita enggan menyapa? Mengapa harus ketus dan keras? Tidakkah kita bisa menyapa getaran kemuliaan yang hadir bersamaan denga sapaan kita?
S keempat sopan. Kita selalu terpana dengan orang yang sopan ketika duduk, ketika lewat di depan orang tua. Kita punmenghormatinya. Pertanyaannya, apakah kita termasuk orang yang sopan ketika duduk, berbicara, dan berinteraksi dengan orang-orang yang lebih tua? Sering kita tidak mengukur tingkat kesopanan kita, bahkan kita sering mengorbankannya hanya karena pegal kaki, dengan berselonjor misalnya. Lalu, kita relakan orang yang di depan kita teremehkan. Patut kiranya kita orang yang memiliki etika kesopanan atau tidak.
S kelima, santun. Kita pun berdecak kagum melihat orang yang mendahulukan kepentingan orang lain di angkutan umum, di jalanan, atau sedang dalam antrean, demi kebaikan orang lain. Memang orang mengalah memberikan haknya untuk orang lain, untuk kebaikan. Ini adalah sebuah pesan tersendiri. Pertanyaannya adalah, sampai sejauh mana kesantunan yang kita miliki? Sejauh mana kita telah hak kita dinikmati oleh orang lain dan untuk itu kita turut berbahagia? Sejauh mana kelapangdadaan diri kita, sifat pemaaf ataupun kesungguhan kita untuk membalas kebaikan orang yang kurang baik?
Saudara-saudaraku, Islam sudah banyak disampaikan oleh aneka teori dan dalil. Begitu agung dan indah. Yang dibutuhkan sekarang adalah, mana pribadi-pribadi yang indah dan agung itu? Yuk, kita jadikan diri kita sebagai bukti keindahan Islam, walau secara sederhana. Amboi, alangkah indahnya wajah yang jernih, ceria, senyum yang tulus dan ikhlas, membahagiakan siapapun. Betapa nyamannya suasana saat salam hangat ditebar, saling mendo’akan, meyapa dengan ramah lembut dan penuh perhatian. Alangkah agungnya pribadi kita, jika penampilan kita selalu sopan dengan siapa pun dalam kondisi bagaimana pun. Betapa nikmatnya dipandang, jika pribadi kita santun, mau mendahulukan orang lain, rela mengalah dan memberikan haknya, lapang dada, pemaaf yang tulus, dan ingin membalas keburukan dengan kebaikan serta kemuliaan.
Saudaraku, insya Allah. Andai diri kita sudah berjuang untuk berperilaku lima S ini, semoga kita termasuk dalam golongan mujahidin dan mujahidah yang akan mengobarkan kemuliaan Islam sebagaimana dicita-citakan Rasulullah SAW, Innama buitsu liutammima makarimal akhlak, “Seseungguhnya aku diutus ke bumi ini untk menempurnakan kemuliaan akhlak”.
Photo: Nitta N