Rumus Menghadapi Masalah
Saudaraku, kalau ada yang berkata, mengapa hidup saya selalu merasa tidak nyaman? Karena mungkin pikirannya kotor, matanya kotor, telinganya kotor, mulutnya kotor, hatinya kotor. Jadi, tidak nyaman. Karena hati semakin bersih, Allah suka. Maka kalau Allah suka, maka diberi nyaman. Dan kenapa kita tidak nyaman? Boleh jadi karena kita berperilaku hina. Semua perilaku hina tidak membahagiakan. Semua kebahagiaan datang dari perilaku mulia.
Kali ini kita akan membahas rumus dasar menghadapi masalah. Ingat baik-baik, bahwa masalah itu bukan beban. Masalah itu karunia. Orang yang tidak punya masalah berarti tidak berkualitas. Kita mencari orang-orang yang bisa menyelesaikan masalah. Kita mau pemimpin yang menjadi solusi, bukan menjadi masalah.
Jangan takut dengan masalah, karena masalah tidak ada yang bahaya. Yang bahaya adalah salah menghadapi masalah. Orang tidak lulus ujian bukan karena soal. Orang tidak lulus ujian karena salah jawabannya. Jadi, yang harus kita cemaskan bukan persoalan hidup, tapi sikap kita menghadapi persoalan.
Kalau hanya sekadar marah, sikap yang memuaskan nafsu mah kita tidak perlu belajar. Itu sudah standar. Tapi bagaimana kesalahan suami, kesalahan istri, kesalahan anak, membuat kita berkualitas dalam menyikapinya, termasuk hirup pikuk ada teroris dan sebagainya. Yang membuat orang bernilai ini adalah bagaimana cara menyikapinya.
Ada lima kiat menghadapai persoalan. Satu, siap menghadapi yang cocok, dan harus siap menghadapi yang tidak cocok. Seperti sedia payung sebelum hujan. Siap hujan, siap tidak hujan. Lebih tenang. Mengapa? Karena hidup ini tidak selamanya cocok dengan keinginan.
Kita harus berusaha keras membuat perencanaan agar menjadi cocok. Tapi kita harus tahu, kita punya rencana, Allah juga punya rencana. Mana yang pasti akan terjadi, rencana kita atau rencana Allah? Mana yang lebih baik, rencana kita atau rencana Allah?
Tugas kita itu bukan menyalahi rencana Allah. Tugas kita itu, satu, meluruskan niat lillahita’ala. Dua, menyempurnakan ibadah dan ikhtiar. Ibadahnya sempurnakan, doanya sempurnakan, ikhtiarnya sempurnakan. Dan yang ketiga pol. Faidza azamta fatawakal Alallah, serahkan ke Allah. Sudah terserah saja. Apa yang terbaik menurut Allah. Mengapa demikian?
Dalam surah al-Baqarah [2]: 216, “Boleh jadi engkau tidak suka, padahal baik menurut Allah bagimu. Boleh jadi engkau suka, padahal buruk menurut Allah. Allah Mahatahu, kalian tidak tidak mengetahui.”
Dua, kalau sudah terjadi, harus rida. Kalau belum siap dengan kondisi apa pun. Seperti sedia generator sebelum mati listrik. Lebih nyaman kalau orang siap. Karena tidak harus terjadi yang kita inginkan. Yang harus itu semua niat jadi amal, ikhtiar jadi amal, dan pasrah jadi amal. Yang terpenting itu yang terbaik dari Allah yang terjadi.
Kalau sudah terjadi harus rida. Barang siapa rida kepada terhadap takdir, Allah rida. Yang membuat kita tidak bahagia itu bukan takdirnya, tapi karena tidak menerima takdir ini. Yang bikin nyesek itu karena tidak menerima.
Kalau di antara kita, ada yang menderita, pasti karena tidak menerima takdir itu. Yang menderita, yang ingin terlihat melebihi kenyataan. Yang paling enak itu, just the way you are. Kalau orang yang tidak menerima takdir, tidak bisa mikir karena dia akan kegulung.
Tiga, jangan mempersulit diri. Mudahkan urusan. Jangan dibikin ribet. Kalau semua urusan dibikin ribet, kapan bahagianya? Kalau setiap omongan tidak enak, kita pikirin, kapan bahagianya? Hidup ini akan banyak kejadin-kejadian kecil yang memang sudah dirancang oleh Allah untuk menggugurkan dosa kita, untuk menaikan derajat kita. Jangan dibikin tegang, mending zikir aja.
Empat, evaluasi diri. Kebaikan apa pun yang datang dari Allah, kalau keburukan yang menimpa pasti diundang dari dosa kita. Jadi, jangan mencari kambing hitam karena kambing terhitam diri kita sendiri. Jangan mencari kambing hitam, karena itu tidak menyelesaikan masalah. Jika menyalahkan orang lain dijamin tidak akan tobat. Kalau orang tidak tobat, jauh dari pertolongan Allah. Gerbang pertolongan pertama dari Allah adalah tobat. Karena itu, kalau ada apa-apa, tobat!
Terakhir, kelima, cukuplah Allah sebagai penolong kita. Allah berfirman dalam surah Yunus [10]: 107, “Sekiranya Allah menimpakan kemudaratan kepadamu (bencana) tidak ada yang bisa menghilangkannya kecuali Allah. Dan jika Allah menghendaki kebaikan kepadamu, tidak ada yang bisa mengelak. Allah memberikan kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
Gelisah tidak bisa dihilangkan, kecuali ditenangkan oleh Allah. Mau lari kemana pun, minum obat apa pun, minta tolong kepada siapa pun, tetep yang bisa memberi tenang Allah. Mau mencari rezeki, tetep yang memberi itu Allah. Kalau Allah menghendaki, pasti ada jalan. Kalau Allah sudah menentukan jodoh, pasti jodoh.
Jangan melekat sama uang, sama barang-barang, pangkat, jabatan, gelar, balasan, pujian. Sudahlah, jangan mengharap apa-apa, percuma. Kalau mengharap ke makhluk itu untuk kepentingan pribadi, jatuhnya sakit hati. Tenang saja. Allah sudah menjamin.
“Barang siapa yakin bahwa Allahlah satu-satunya yeng menentukan segalanya, maka Allah jamin.” (QS. at-Thalaq [65]: 3).
Jadi, kita bisa tercukupi itu sebetulnya oleh ketawakalan bukan kepintaran. Kalau orang kaya, pintar, berarti profesor yang paling kaya sedunia. Kalau orang yang paling kerja keras yang sukses, tukang batu yang kaya. Kalau orang yang berpangkat, kaya. presiden yang paling kaya. Gak juga!
Tidak penting jadi orang kaya. Yang penting ketika perlu, cukup. Jadi orang yang kaya, belum tentu merasa cukup. Tapi orang yang cukup, pasti merasa kaya. Kita ini tidak dirancang bisa menyelesaikan masalah dengan kepintaran. Kita itu dirancang oleh Allah utuk menyerahkan urusan ke Allah. Nanti Allah membimbing kita untuk menyelesaikan masalah.
Semoga Allah senantiasa memberkahi hidup kita dan semoga dari hari ke hari, iman kita semakin kuat. Iman kita makin melimpah. Aamiin. (KH. Abdullah Gymnastiar)